16 Desember 2008

Poligami yang Tersesat

Poligami sering menjadi masalah karena istri baru sering membawa ketidakadilan bagi istri lama. Poligami ibarat membuang istri lama karena sudah dianggap tidak berfungsi lagi. Kalaupun masih berfungsi, istri lama justru disimpan ibarat barang usang. Kalaupun tidak disimpan, fungsinya menjadi tidak signifikan. Ketidakadilan ini membuat banyak orang menolak poligami; terutama kaum wanita.

Penolakan terhadap poligami menimbulkan keraguan terhadap Islam. Kenapa Islam memperbolehkan poligami? Saya sendiri tidak berani menjawab pertanyaan besar ini. Tapi saya menemukan sebuah artikel yang dapat membantu saya menjelaskan asal-usul poligami. Berikut kutipan dari artikel tersebut.

Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Jika dirunut ke belakang sejarah, maka jelas terlihat bahwa poligami bukanlah merupakan warisan Islam, tetapi merupakan kebiasaan yang telah berkembang berabad-abad sebelum Islam diwahyukan. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa rata-rata para pemimpin suku pada zaman dahulu memiliki puluhan istri bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.

Namun ketika Islam datang kebiasaan poligami tidak serta-merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal yakni pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Contoh amat jelas terlihat dalam riwayat dari Naufal ibn Muawiyah. Ia berkata: “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri” Rasulullah berkata: “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat”. Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan poligami itu sangat berat, dan hampir-hampir dapat dipastikan tidak ada yang memenuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala.

Dengan demikian terlihat bahwa praktik poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlah hanya dibatasi empat. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil. - Benarkah Islam Membolehkan Poligami?

Berdasarkan kutipan di atas, Islam justru mengarahkan poligami agar tidak lepas kendali. Jadi pada dasarnya Islam tidak menganjurkan, menjadikan sunnah Rasulullah, apalagi mewajibkan poligami. Islam hanya memperbolehkan poligami dengan koridor yang tegas, yaitu harus berlaku adil.

Sementara poligami yang ditolak masyarakat sekarang ini bukan poligami yang diperbolehkan dalam Islam. Kenapa? Karena para pelaku poligami tidak bisa berlaku adil di antara para istri-istrinya. Definisi adil ini pun mencakup banyak aspek dan tidak berhenti pada berlaku adil dalam hal sandang, pangan, dan papan saja. Berlaku adil dalam konteks psikologi juga diperlukan. Para pelaku poligami tidak boleh condong kepada istri-istri tertentu. Ini yang, menurut saya, membuat poligami menjadi berat.

Poligami memang diperbolehkan dalam Islam. Tapi dasar pembolehannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. - Al Quran Surat An-Nisaa' Ayat 3

Penegasan saya lakukan pada kondisi tidak sanggup berlaku adil dalam poligami. Dalam kondisi ini maka monogami lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Perlu kita sadari bahwa berlaku adil kepada istri tidak akan mudah.

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. - Al Quran Surat An-Nisaa' Ayat 129

Allah SWT sudah menegaskan bahwa berlaku adil dalam poligami itu sulit. Oleh karena itu para suami sepantasnya menjadikan poligami sebagai pilihan terakhir dalam keadaan terpaksa sebelum memutuskan melakukannya.

Allah SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus pelaku poligami mampu berlaku adil. Di lain pihak Allah SWT juga menegaskan bahwa berbuat adil kepada lebih dari satu istri itu sulit. Kalau kita tidak mampu berbuat adil, Allah SWT malah menganjurkan kita untuk tidak melakukan poligami. Tapi Allah SWT masih membuka pintu poligami bagi mereka yang benar-benar butuh selama mereka senantiasa konsisten untuk menjaga diri dari ketidakadilan terhadap istri-istri mereka.

Referensi:
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95604555/4e600092/PoligamiYangTersesat.html

27 November 2008

Muslim dalam Masyarakat

Islam tidak pernah mengajarkan Muslim untuk mengucilkan dirinya dari anggota masyarakat lain. Islam tidak pernah mengajarkan untuk membentuk kelompok-kelompok Muslim yang eksklusif. Islam mengajarkan agar setiap Muslim berbaur ke dalam berbagai bentuk kelompok sosial seraya mempertahankan jati dirinya sebagai seorang Muslim.

Toleransi merupakan bagian penting untuk berbaur ke dalam masyarakat. Toleransi yang dimaksud bukan sebatas menghormati perbedaan kepercayaan dan keyakinan, tapi juga menghormati keberadaan hukum, aturan, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk melakukan itu, setiap Muslim perlu menemukan keseimbangan antara mempertahankan ajaran Islam dan mengikuti aturan yang ada di masyarakat.

Hal tersebut adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh setiap Muslim agar Islam dapat diterima dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena dakwah Islam tidak mungkin berjalan dengan baik bila Islam tidak dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Kita tidak mungkin mengajak orang untuk masuk ke dalam sesuatu yang mereka benci atau takuti.

Seperti yang saya sebutkan di atas, setiap Muslim perlu menemukan kombinasi yang tepat antara hukum Islam dan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini berarti menegaskan batas antara hal-hal yang memang menjadi prinsip dalam Islam dan hal-hal yang tidak perlu dipaksakan.

Contoh yang bisa saya berikan adalah pernikahan di bawah umur. Definisi "di bawah umur" ini, setahu saya, mengacu kepada pasal 7 dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa yang diperbolehkan menikah adalah pria dengan umur paling rendah 19 tahun dan wanita dengan umur paling rendah 16 tahun.

Apa yang terjadi kalau ada seorang pria Muslim menikah dengan gadis berumur di bawah 16 tahun? Tentu akan ada penolakan. Kalau seorang pria Muslim itu menegaskan bahwa pernikahan itu sah dalam Islam, maka penolakan itu bisa jadi membengkak dari penolakan terhadap individu menjadi penolakan terhadap Islam.

Contoh lain adalah poligami. Bentuk pernikahan yang diperbolehkan (bukan dianjurkan) dalam Islam dengan batas atas 4 (empat) orang istri ini adalah sesuatu yang ditentang oleh masyarakat Islam secara umum; terutama kaum wanita. Sepertinya banyak pernikahan poligami yang berujung pada ketidakadilan dalam perlakuan suami terhadap istri yang lebih cenderung kepada istri yang lebih baru.

Apa yang terjadi kalau ada seorang pria Muslim melakukan poligami? Tentu akan ada penolakan. Kalau alasan utama poligami itu semata-mata karena Islam memperbolehkannya, penolakan itu juga akan berubah dari penolakan terhadap individu menjadi penolakan terhadap Islam.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain yang bisa saya berikan. Tapi tujuan saya memberikan contoh itu terkait dengan batas antara yang bersifat prinsip dan yang tidak perlu dipaksakan. Apakah kedua contoh di atas termasuk hal yang bersifat prinsip atau hal yang tidak perlu dipaksakan? Saya pribadi memasukan kedua contoh di atas ke dalam golongan kedua; hal yang tidak perlu dipaksakan.

Saya sangat menyayangkan sikap yang memaksakan hal-hal yang tidak bersifat prinsip namun pada akhirnya mencoreng nama baik Islam. Padahal setiap Muslim, secara implisit, memiliki tugas untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Islam adalah ajaran yang membawa kebaikan. Kalau memang tidak mampu membawa kebaikan, paling tidak Islam mengajarkan setiap Muslim untuk tidak membawa keburukan.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95605193/b4032512/MuslimDalamMasyarakat.html

06 November 2008

Toleransi, Bukan Aliansi

Saya rasa nama AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Terus terang pertama kali saya mendengar nama AKKBB adalah saat mereka terlibat insiden dengan FPI (Front Pembela Islam) yang terjadi di Silang Monas (Monumen Nasional) pada tanggal 1 Juni 2008.

Saya tidak bermaksud membicarakan insiden tersebut. Melihat tanggal hari ini, insiden tersebut seharusnya sudah basi. Saya juga tidak bermaksud membicarakan AKKBB. Saya juga bukan pendukung FPI. Sesuai judul yang ada di atas, saya ingin bicara mengenai "aliansi".

Aliansi, setahu saya, adalah sebuah kesatuan dengan tujuan yang sama. Saat ada lebih dari satu pihak bersatu untuk satu tujuan yang sama, kita bisa sebut itu sebagai aliansi. Saya pribadi tidak punya masalah dengan kata "aliansi". Tapi saya tergelitik untuk berkomentar bila ada aliansi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sebelum saya menulis lebih jauh lagi, saya tegaskan bahwa saya tidak bermaksud menyinggung organisasi AKKBB.

Toleransi beragama merupakan sesuatu yang diajarkan Islam. Untuk masalah ini saya rasa cukup bila kita merujuk kepada Al Quran sebagaimana saya kutip di bawah.

"Untukmu agamamu dan untukku agamaku." (Al Kaafiruun : 6)

Tidak pernah ada paksaan bagi siapa pun untuk memeluk Islam. Dakwah dalam Islam adalah mengajak, bukan memaksa. Bila ada orang yang tidak berkenan diajak memeluk Islam, maka setiap juru dakwah dalam Islam harus menghormati keputusan itu.

Sikap seorang Muslim yang mempersilakan orang memilih untuk tidak memeluk Islam adalah bentuk toleransi yang diajarkan Islam. Tapi toleransi ini, menurut saya, tidak berarti mendorong orang untuk memeluk agama lain selain Islam.

Saya bukan bermaksud menjadi orang fanatik. Tapi setiap orang harus membela keyakinan yang ada di dalam hatinya. Seorang Muslim harus yakin bahwa Islam adalah agama yang benar. Keyakinan ini yang mengimbau setiap Muslim untuk mengajak orang memeluk Islam karena pada dasarnya ajakan tersebut adalah ajakan kepada kebenaran.

Membela keyakinan terhadap Islam jangan sampai bertentangan dengan toleransi yang diajarkan Islam. Menghormati hak orang untuk memilih agama lain adalah toleransi. Tapi mendorong orang untuk memeluk agama lain adalah pengkhianatan terhadap keyakinan seorang Muslim.

Terkait dengan aliansi untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, saya sedikit bingung saat melihat ada banyak organisasi Islam yang tergabung dalam AKKBB (lihat ini). Mengapa? Menurut pemahaman saya, menjadi anggota AKKBB berarti mendukung eksistensi agama lain. Sekali lagi saya tidak bermaksud fanatik. Saya hanya heran karena menurut saya hal ini bertentangan dengan keyakinan saya sebagai seorang Muslim.

Bentuk toleransi dalam Islam terhadap agama lain yang saya pahami adalah setiap Muslim tidak boleh memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Selain itu, setiap Muslim harus menghormati hak orang untuk memilih agama selain Islam. Setiap Muslim juga tidak berhak mengintimidasi orang yang memeluk agama lain selain Islam.

Tapi toleransi tersebut sepertinya tidak sejauh ikut mempromosikan agama lain melalui gerakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Toleransi tersebut sepertinya tidak sejauh ikut melanggengkan eksistensi agama lain melalui gerakan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Toleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan berarti menjadi bagian dari gerakan kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Menjadi seorang Muslim yang meyakini Islam sebagai agama yang benar bukan berarti harus bersikeras (apalagi dengan kekerasan) untuk memaksakan Islam ke dalam hati setiap manusia. Setiap Muslim perlu menemukan kombinasi yang tepat antara mempertahankan keyakinan dan menghormati manusia lain.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95606305/9d9340ee/ToleransiBukanAliansi.html

27 Oktober 2008

Toleransi untuk Tradisi

Menyikapi tradisi bertujuan ibadah dalam Islam tidak semudah membedakan hitam dan putih. Wilayah abu-abu itu sering saya alami sendiri. Umumnya wilayah abu-abu ini terkait dengan pilihan antara tetap tegas mengacu pada hukum dalam Islam atau menjaga hubungan baik dengan para penerus tradisi tersebut.

Penolakan tradisi seperti ini sering sulit dilakukan karena umumnya para penerus tradisi mengacu kepada kata-kata "tidak dilarang". Padahal ibadah seharusnya mengacu kepada kata-kata "tidak diperintahkan". "Tidak dilarang" digunakan untuk menilai sesuatu yang tidak terkait dengan ibadah. Penolakan ini akan lebih sulit lagi kalau tradisi tersebut sudah dicampuri oleh keyakinan. Kita semua tahu merubah keyakinan seseorang itu bukan hal yang mudah.

Saya ambil contoh tahlilan. Setiap ada orang yang meninggal, anggota keluarga yang ditinggalkan akan mempersiapkan acara tahlilan. Sebenarnya mereka sudah cukup repot mengurus pemakaman jenazah yang meninggal. Tapi dengan wajibnya acara tahlilan, mereka lebih direpotkan lagi dalam mempersiapkan tempat dan makanan untuk menyambut para peserta tahlilan tersebut.

Saya tidak pernah menemukan dasar aturan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah yang menganjurkan, apalagi mewajibkan tahlilan. Secara logika, saya juga menolak tahlilan karena menurut saya tidak masuk akal bila anggota keluarga yang ditinggalkan harus mengeluarkan biaya, waktu, dan energi untuk menggelar acara tahlilan. Tapi untuk menolak prosesi acara tahlilan bukan hal yang mudah bagi saya karena saya dihadapkan dengan sebuah masyarakat yang percaya bahwa tahlilan itu "wajib" atau minimal "penting".

Saat Ayah saya meninggal dunia, Saya tidak kuasa mencegah prosesi acara tahlilan terkait. Ibu saya mendukung acara tahlilan tersebut. Ustad di lingkungan rumah saya pun mendukung acara tahlilan. Saya sendiri tidak punya orang lain untuk mendukung argumen saya. Pada akhirnya acara tahlilan itu berjalan sampai selesai. Saya sendiri akhirnya ikut membantu persiapan acara tahlilan itu walaupun hati saya senantiasa menolak hingga acara itu berakhir.

Keputusan besar untuk turut membantu acara tahlilan itu didasari pertimbangan bahwa sikap keras saya menolak tahlilan itu akan membuat saya terlihat berbeda dalam arti yang negatif. Ada kemungkinan besar bahwa saya akan terlihat seperti orang yang sok tahu, keras kepala, dan aneh. Hal ini sepertinya akan membawa dampak negatif yang lebih besar karena ada kemungkinan di kemudian hari keluarga saya tidak lagi mau mendengar pendapat saya.

Saya bersyukur Allah masih memberikan tempat untuk toleransi. Akhirnya saya memilih langkah moderat dalam menyikapi prosesi acara tahlilan untuk Ayah saya. Saya tetap membantu, tapi hati saya mengingkari. Kalau kita bicara keyakinan, bentuk penolakan paling rendah adalah penolakan dalam hati. Bentuk penolakan ini yang dengan berat hati saya pilih.

Kondisi abu-abu seperti itu sebenarnya masih banyak lagi. Saya sendiri sering mengalaminya dan saya yakin hidup pembaca sekalian tidak luput dari hal yang sejenis. Pedoman saya dalam menyikapi masalah abu-abu ini sama dengan pedoman saya menyikapi bohong putih. Saya tegaskan dalam hati bahwa yang salah itu tetap salah sementara saya memohon ampun karena terpaksa melakukan hal yang salah.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95607067/9f3d5f78/ToleransiUntukTradisi.html

15 Oktober 2008

Tradisi dalam Islam

Kalau kita bicara keturunan, tentu tidak akan lepas dari tradisi. Entah ada berapa macam tradisi yang sudah diturunkan kepada kita, generasi sekian ribu sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Melalui tulisan ini, saya akan paparkan beberapa kebiasaan yang menurut saya hanya dilandaskan kepada tradisi ketimbang kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah.

Tahlilan
Tahlilan adalah tradisi pertama yang terpikir oleh saya. Sampai saat ini saya tidak bisa menemukan satu dalil pun yang membenarkan prosesi acara tahlilan itu dilakukan. Secara logika, saya sendiri tidak setuju dengan acara tahlilan. Kenapa tidak logis? Tidak logis bila sebuah keluarga yang ditinggal mati salah seorang anggota keluarganya harus repot-repot menyiapkan tempat dan makanan lengkap untuk orang-orang yang datang untuk mendoakan yang mati. Sudah ditimpa musibah malah harus keluar biaya dan tenaga untuk menjamu para pendoa.

Takbiran
Takbiran merupakan tradisi lain yang kental dalam perayaan hari raya Idul Fitri. Prosesi takbiran yang saya maksud adalah takbiran di malam terakhir bulan Ramadhan yang dilakukan beramai-ramai, umumnya dengan memukul bedug, sambil berjalan-jalan (entah menggunakan kendaraan apa) keliling kota, kampung, kecamatan, atau minimal RT-RW setempat. Memang ada perbedaan pendapat mengenai ucapan takbir, waktu takbir, dan dilakukan bersama-sama atau sendiri-sendiri, tapi saya tidak pernah menemukan dalil yang menjadi dasar prosesi takbiran keliling kampung tersebut.

*Gambar diambil dari http://indonesia.nomadlife.org/

Ziarah Kubur pada Waktu Tertentu
Manfaat ziarah kubur yang paling utama adalah untuk mengingat kematian dan mengambil sedikit waktu untuk mendoakan mereka yang telah mati. Jadi kenapa harus dilakukan pada waktu-waktu yang khusus? Dalam masyarakat Indonesia, saya perhatikan ada beberapa waktu khusus untuk ziarah kubur antara lain sebelum bulan Ramadhan atau sebelum hari raya Idul Fitri.

*Gambar diambil dari http://www.clipartheaven.com/

Ziarah Kubur pada Kuburan Tertentu
Ini bentuk tradisi lain yang terkait dengan ziarah kubur. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan ziarah kubur pada kuburan-kuburan tertentu seperti kuburan para wali atau orang-orang alim zaman dahulu kala yang dianggap dapat membantu mencarikan jodoh, pekerjaan, menyembuhkan penyakit, dan berbagai kepentingan lainnya.

Mungkin masih banyak lagi tradisi lain yang cukup kuat kaitannya dengan Islam. Tapi dalam tulisan ini saya hanya mampu mencantumkan beberapa tradisi yang saya kenali sebagaimana saya paparkan di atas. Paparan tersebut terbatas pada tradisi-tradisi yang pernah saya lihat dan saya sendiri pernah lakukan di masa lalu.

Kembali ke topik. Saya bukan orang yang ingin menentang tradisi dan menjadi orang aneh di tengah-tengah masyarakat yang mengagungkan tradisi. Walaupun begitu, saya menganggap tradisi adalah tembok penghalang inovasi dan kemauan untuk berpikir lebih jauh. Tradisi sering sering dilakukan dengan didasari oleh kebiasaan orang-orang terdahulu tanpa pernah dicari tahu asal-usulnya.

Dalam konteks ibadah, tradisi dapat berujung kepada bid'ah. Setahu saya, setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT atau menjadi bagian dari sunnah Rasulullah SAW merupakan bid'ah. Jadi tradisi dalam bentuk ibadah yang tidak didasari Al Quran dan Sunnah Rasulullah termasuk kategori bid'ah.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa cara pandang ini terlalu picik. Memang kenapa kalau kita membiasakan sesuatu yang baik? Apalagi semua tradisi itu memang tidak dilarang. Dalam paragraf di atas, saya sengaja mencetak tebal tulisan "tradisi dalam bentuk ibadah" untuk menegaskan bahwa bid'ah itu hanya berlaku untuk ibadah.

Ibadah harus dilakukan atas perintah Allah atau Rasul-Nya. Hal ini dapat diartikan bahwa beribadah itu hukumnya haram kecuali diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bila dibandingkan dengan aturan hubungan antara sesama manusia, maka akan terlihat jelas perbedaannya. Dalam hubungan antara sesama manusia, kita bisa melakukan apa saja kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi dalam konteks ini, perkataan atau perbuatan apapun halal kecuali dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kembali lagi kepada tradisi dalam bentuk ibadah. Memperbolehkan tradisi semacam ini dengan dasar tidak ada larangannya tentu tidak tepat. Membiasakan sesuatu yang baik adalah sesuatu yang baik juga. Tapi dalam konteks ibadah, tidak boleh ada kebiasaan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tradisi baik yang dibuat tidak dalam konteks ibadah, selama tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, sebaiknya dipertahankan. Tapi sebagai Muslim yang senantiasa diperintahkan untuk belajar, sebaiknya kita senantiasa mempertimbangkan kembali alasan di balik sebuah tradisi sebaik apa pun tradisi tersebut. Tradisi sering membuat serat inovasi dan membatasi kemauan dan kemampuan berpikir dari para pengikut tradisi tersebut.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95607738/77baa029/TradisiDalamIslam.html

08 Oktober 2008

Islam Keturunan

Apa jawaban Anda bila seseorang mempertanyakan alasan Anda memeluk Islam? Apakah karena orang tua Anda adalah pemeluk Islam? Apakah karena keluarga Anda tidak membiarkan Anda memilih yang lain selain Islam? Apakah karena pekerjaan Anda mengharuskan Anda memeluk Islam? Apakah karena Anda sadar Islam adalah yang benar? Apakah karena Anda sadar bahwa Allah itu nyata?

Saya yakin ada lebih banyak kemungkinan alasan seseorang memeluk Islam. Saya pribadi membedakan alasan-alasan tersebut ke dalam dua kelompok besar. Yang pertama adalah kelompok tidak sadar Islam. Yang kedua adalah kebalikannya yaitu kelompok sadar Islam.

Kelompok pertama, yaitu kelompok tidak sadar Islam, adalah orang-orang yang memeluk Islam karena situasi dan kondisi di sekitarnya. Kelompok ini memeluk Islam bukan karena dirinya memilih Islam. Situasi dan kondisi di sekitarnya yang membuat mereka memilih Islam. Contohnya adalah Islam yang diturunkan dari orang tuanya, Islam yang dipeluk karena setiap anggota masyarakat di sekitarnya memeluk Islam, Islam yang dipeluk karena calon pasangannya memeluk Islam, dan masih banyak contoh lainnya.

Kelompok kedua, yaitu kelompok sadar Islam, adalah orang-orang yang memeluk Islam karena hati dan pikirannya memilih Islam. Kelompok ini memeluk Islam karena dirinya sadar bahwa Islam itu benar; atau paling benar. Kelompok ini memeluk Islam tanpa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

Saat saya membuat tulisan ini, saya rasa lebih banyak Muslim yang masuk ke dalam kelompok pertama. Hal ini saya kemukakan karena saya semakin yakin umat Muslim saat ini sudah tidak punya kuasa. Saya merasa umat Muslim sedang ada di atas kapal di tengah laut yang berombak besar akibat diterjang badai. Tapi kondisi umat Muslim ini bukan hal yang ingin saya tuangkan dalam tulisan ini.

Kelompok tidak sadar Islam ini memeluk agama Islam tapi tidak sepenuhnya sadar akan tanggung jawab mereka sebagai Muslim untuk terus-menerus belajar Islam. Islam yang mereka tahu adalah Islam yang diturunkan orang tua mereka, Islam yang diajarkan di pelajaran agama Islam di sekolah, Islam yang mereka kenal dari media massa, dan berbagai sumber yang dicekoki ke dalam pikiran mereka.

Kelompok sadar Islam menyadari tanggung jawab mereka untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang Islam. Pada dasarnya Islam yang mereka tahu mungkin beririsan dengan Islam yang diketahui oleh kelompok pertama karena sumber pengetahuan mereka bisa jadi sama. Yang menjadi pembeda adalah kelompok sadar Islam tidak sekedar menerima Islam yang disodori ke dalam pikiran mereka. Mereka berpikir kritis dan senantiasa menyadari jalan mereka menuju pemahaman Islam yang menyeluruh masih panjang.

Pada hakikatnya keutamaan dan kemuliaan menjadi seorang Muslim hanya bisa didapat bila orang tersebut memiliki pemahaman terhadap Islam yang menyeluruh. Pemahaman yang menyeluruh tersebut tidak akan pernah bisa didapat bila seorang Muslim tidak menyadari tanggung jawabnya untuk senantiasa mempelajari Islam.

Mempelajari Islam merupakan tanggung jawab setiap Muslim. Islam tidak akan menjadi pedoman hidup yang baik bila Islam tidak dipelajari lebih dalam dan menyeluruh. Kalau Islam dipandang sebatas Rukun Iman dan Rukun Islam saja, maka setiap orang, baik Muslim maupun bukan Muslim, akan kesulitan menemukan keutamaan dan kemuliaan Islam.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa kelompok tidak sadar Islam adalah salah. Biar Allah yang menjadi hakim untuk masalah ini. Saya pribadi tetap bersyukur bila seseorang memeluk agama Islam tanpa ada embel-embel sadar atau tidak sadar Islam. Saya rasa cukup bila seorang Muslim meyakini Rukun Iman dan melaksanakan Rukun Islam, tapi Islam tidak akan pernah menjadi rahmat bagi diri seorang Muslim bila hanya dipahami sebatas itu saja. Sudah waktunya bagi kita semua untuk berhenti terbawa arus dan mulai berenang untuk menentukan arah hidup kita sebagai Muslim.

Tulisan terkait:
Apa itu Islam?
Lebih dari Sekedar Shalat, Puasa, dan Zakat

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95608490/d9ab6e9e/IslamKeturunan.html

01 Oktober 2008

Taubat di Hari yang Fitri

Idul Fitri adalah hari yang membahagiakan bagi setiap Muslim yang berpuasa. Bahkan Muslim yang tidak berpuasa pun turut berbahagia merayakan hari yang fitri tersebut. Kenapa mereka berbahagia? Idul Fitri sering disamakan dengan libur yang (cukup) panjang, makanan yang enak, baju yang baru, dan uang tambahan. Menyenangkan, bukan?

Saya tidak bermaksud mempermasalahkan semua yang saya sebutkan di atas. Saat saya masih bekerja sebagai seorang karyawan perusahaan swasta, saya memang merasakan manfaat Idul Fitri di sisi waktu libur dan uang tunjangan. Namun patut disayangkan bila Idul Fitri hanya dilihat dari hal-hal yang fana.

Idul Fitri datang setelah 30 hari penuh tantangan untuk berpuasa menahan lapar, haus, emosi, dan syahwat. Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai Hari Kemenangan karena mereka yang merayakan Idul Fitri identik dengan merayakan kemenangan dalam perang abadi melawan nafsu dan syaithan.

Fitri berarti suci yang sering diterjemahkan sebagai hari saat mereka yang berpuasa kembali kepada kesucian. Kesucian yang dipadankan dengan kesucian bayi yang baru lahir. Kesucian yang hakiki sebagai kesempatan untuk memulai kembali perjuangan mengejar pahala dan menjauhi dosa.

Beranjak dari kata "kesempatan" tersebut akhirnya saya merasa bahwa Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk bertaubat. Sebab taubat, selain memiliki makna memohon ampunan dari Allah SWT, juga bermakna mengharapkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegahnya agar tidak terulang kembali.

Bulan Ramadhan ibarat panti rehabilitasi yang dapat saya manfaatkan untuk mengenali kesalahan-kesalahan saya dengan harapan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Di panti tersebut saya belajar untuk menahan diri dari yang haram dan yang halal. Di panti tersebut saya belajar untuk menahan dan menyalurkan emosi yang kecil maupun yang besar.

Melewati hari-hari di bulan Ramadhan bukan hal yang mudah. Tapi semua kesulitan itu memang layak untuk dihadapi karena 30 hari penuh pengendalian diri tersebut akan menjadi modal hidup sampai bulan Ramadhan berikutnya. Tanpa adanya bulan Ramadhan, saya justru kesulitan menemukan waktu yang khusus untuk introspeksi diri dan mengembangkan kemampuan saya untuk menahan nafsu dan syahwat.

Idul Fitri merupakan hari yang akbar. Idul Fitri merupakan peristiwa yang berharga. Idul Fitri datang satu tahun sekali. Semoga Idul Fitri dapat saya rayakan sesuai dengan maknanya yang hakiki. Semoga saya dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri berikutnya.

Tulisan ini saya tutup dengan doa.

Semoga saya dan setiap Muslim diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Semoga saya dan setiap Muslim diterima taubatnya. Semoga saya dan setiap Muslim diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah lalu. Semoga saya dan setiap Muslim diberikan kekuatan dan kekuasaan untuk menahan nafsu dan syahwat sehingga dapat menjaga diri dari perbuatan dosa.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

24 September 2008

Bohong Putih

Bohong Putih (White Lie) merupakan bentuk kebohongan yang secara umum dipandang sebagai kebohongan yang baik atau yang dibenarkan. Umumnya para pelaku bohong putih menjadikan keterpaksaan sebagai alasan utama mereka. Jadi keterpaksaan telah membenarkan kebohongan yang mereka lakukan.

Sebelumnya saya pernah menulis opini saya tentang kejujuran: Jujur Pangkal Baik. Kejujuran memang pangkal kebaikan. Setiap Muslim yang beriman kepada Allah sudah pasti menjadikan kejujuran sebagai bagian dari kepribadian mereka.

"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." (HR. Muslim)

Dalam hadits di atas ditegaskan bahwa dusta (bohong) adalah salah satu dari tiga tanda orang munafik. Sementara orang beriman bukan orang munafik sehingga dusta (bohong) bukan bagian dari kepribadian orang beriman.

Lalu apakah setiap Muslim itu tidak boleh berbohong sama sekali? Tidak sesederhana itu.

"Rasulullah Saw membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa dan pembicaraan suami kepada istrinya." (HR. Ahmad)

Hadits berikutnya cukup gamblang. Rasulullah Saw memperbolehkan berbohong dalam perang. Bagi saya hal ini mudah dimengerti. Larangan berbohong dalam peperangan akan berujung pada kehancuran pihak yang bersikeras bersikap jujur. Jujur dalam peperangan sangat tidak masuk akal.

Berbohong untuk mendamaikan orang-orang yang bersengketa. Sejauh pengertian saya, yang dimaksud dengan mendamaikan ini adalah meredam api kemarahan yang sedang berkobar. Berdasarkan pengalaman saya, masalah lebih mudah diselesaikan bila api kemarahan sudah padam. Orang-orang yang bersengketa memiliki hati dan pikiran yang tenang sehingga dapat melihat masalah dari sudut pandang yang lebih baik.

Selanjutnya bila dikhawatirkan ucapan suami yang benar dapat berakibat buruk, maka suami boleh berdusta kepada istri untuk memelihara kerukunan. Saya pribadi tidak mengambil pilihan ini karena istri saya tidak suka bila saya berdusta. Jadi pahit manisnya perkataan saya lebih baik disampaikan secara terang-terangan kepada istri saya. Hal ini bersifat subjektif terhadap diri saya sendiri.

Kembali ke topik kita; Bohong Putih. Merujuk kepada hadits kedua yang saya kutip di atas, saya sepakat bila Bohong Putih itu dilakukan atas dasar keterpaksaan. Bohong Putih dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dari kebohongan itu sendiri.

Sayangnya kata "keterpaksaan" itu sering disalahgunakan. Tapi sebelum saya bicara lebih lanjut mengenai penyalahgunaan tersebut, saya paparkan sedikit persepsi saya mengenai Bohong Putih.

Bohong Putih, menurut saya, bukan kebohongan yang dibenarkan melainkan kebohongan yang dimaafkan. Jadi dalam kondisi apa pun bohong adalah sebuah perbuatan yang salah. Bohong tidak pernah menjadi perbuatan yang benar, tapi dalam kondisi-kondisi tertentu Allah memaafkan dan mengampuni dosa mereka yang berbohong. Kondisi-kondisi tertentu itu antara lain seperti yang Rasulullah perbolehkan dalam hadits kedua yang saya kutip di atas.

Kita perlu tegaskan bahwa bohong adalah perbuatan salah dan akan dimaafkan bila memang bohong itu membawa kebaikan lebih ketimbang tidak bohong. Dengan begitu kita tidak terbuai dengan anggapan bahwa ada bohong yang benar (dibenarkan) sehingga membuat kita lebih berani berbohong.

Terus terang sampai saat ini saya tidak pernah menemukan istilah Bohong Putih dalam terminologi Islam. Bohong ditegaskan sebagai perbuatan yang salah, ciri orang munafik, dan tidak pernah dianjurkan dalam Islam. Islam justru mendorong, bahkan mewajibkan, setiap Muslim untuk senantiasa bersikap jujur.

Kita perlu hati-hati bila menggunakan bohong sebagai solusi alternatif. Jangan sampai kita paksakan alasan "keterpaksaan" padahal kita tidak pernah terpaksa untuk berbohong. Keterpaksaan itu sendiri bersifat subjektif. Jadi bukan tidak mungkin kita membuat-buat alasan seolah-olah kita memang terpaksa padahal hati kita sendiri sadar kita tidak terpaksa berbohong.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95609604/b43ca2c5/BohongPutih.html

19 September 2008

Jujur Pangkal Baik

Tidak perlu belajar Islam untuk menyadari betapa pentingnya sebuah kejujuran. Berdasarkan pengalaman hidup saya sampai saat ini, kejujuran adalah pangkal kebaikan. Orang-orang yang hidup dengan jujur adalah orang-orang baik. Tanpa kejujuran sepertinya sulit untuk meraih kebaikan.

Mudah bagi saya untuk mencari contoh. Saya sendiri merasakan dampak kejujuran terhadap hidup saya. Sebelum saya menyadari pentingnya bersikap jujur, saya mudah terjerumus untuk melakukan hal-hal tidak baik. Hal-hal tidak baik ini dapat saya lakukan karena saya mampu berbohong (bersikap tidak jujur). Keberhasilan saya untuk menutupi hal-hal tidak baik yang saya lakukan dengan berbohong membuat saya cenderung untuk mengulangi hal-hal tidak baik yang saya lakukan.

Mencontek mungkin dapat dijadikan contoh dasar. Sampai saya duduk di bangku kelas 3 SMA, mencontek bukan hal tabu. Saya bukan termasuk siswa yang rajin. Umumnya saya mengandalkan contekan untuk menghadapi ujian dalam pelajaran-pelajaran sosial. Saya tidak pernah dipergoki saat saya mencontek jadi saya menjadikan contekan sebagai solusi alternatif untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian.

Saya sendiri tidak ingat kapan pertama kali saya mencontek. Saya yakin saya sudah berkali-kali mencontek saat ujian. Kemampuan saya untuk mencontek dan tidak tertangkap yang membuat saya terus menggunakan contekan. Sikap tidak jujur saya dalam menghadapi ujian justru menjerumuskan saya untuk selalu mencontek. Sikap tidak jujur itu yang membuat saya tidak bisa berhenti mencontek.

Allah Maha Kuasa. Di kelas 3 SMA saya dipergoki mencontek saat ujian pelajaran sejarah. Saya tidak perlu sampaikan cerita rincinya. Intinya peristiwa itu berhasil merubah pandangan saya terhadap mencontek dan bersikap tidak jujur. Satu hal yang pasti, sejak peristiwa itu saya tidak pernah lagi menggunakan contekan di ujian apa pun sampai detik ini. Saya memberanikan diri menerima nilai rendah seandainya saya tidak mempersiapkan diri dengan baik bila menghadapi ujian.

Seingat saya peristiwa itu yang mendorong saya untuk senantiasa bersikap jujur. Bukan hanya pada mencontek, tapi pada berbagai sisi kehidupan saya. Proses perbaikan sikap jujur itu tidak berjalan sekejap mata. Namun saat ini saya bisa bangga pada diri saya sendiri karena saya sudah berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup dengan kejujuran.

Kembali kepada topik. Jujur itu pangkal baik. Orang yang jujur akan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan tidak baik. Orang jujur yang berbuat tidak baik akan berada pada posisi yang sulit. Kejujuran akan mendorong mereka untuk mengakui perbuatan tidak baik yang mereka lakukan. Oleh karena itu orang jujur akan memilih untuk tidak melakukan perbuatan tidak baik.

Anak yang mengambil uang orang tuanya didasari sikap tidak jujur. Pencurian terjadi akibat sikap tidak jujur. Serah terima uang suap juga didasari sikap tidak jujur. Korupsi yang mengentaskan kesejahteraan pun didasari sikap tidak jujur. Masih banyak contoh perbuatan tidak baik yang tak perlu saya sebutkan. Intinya keberanian untuk bersikap tidak jujur akan mendorong orang untuk melakukan perbuatan tidak baik.

Lalu di mana peran Islam? Ajaran Islam menegaskan bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah wajib bersikap jujur. Hal ini saya tangkap dari isi surat Al Maa'idah ayat 8 yang terjemahannya seperti di bawah ini.

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Maa'idah: 8)

Sepengetahuan saya, ayat di atas adalah salah satu dari sekian banyak penegasan mengenai kewajiban bersikap jujur. Khusus untuk ayat ini, saya menyimpulkan kewajiban bersikap jujur dari kewajiban untuk menegakan kebenaran dan keadilan.

Islam yang memperkenalkan saya pada kewajiban untuk bersikap jujur. Melalui sikap jujur ini saya berharap dapat menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat baik. Menjadi orang baik merupakan salah satu langkah saya untuk menjadi bagian dari orang-orang yang beriman.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95610412/7a884e5/JujurPangkalBaik.html

08 September 2008

Lebih dari Sekedar Shalat, Puasa, dan Zakat

Sepertinya tidak sedikit orang yang melihat Islam sebatas Rukun Islam saja. Jadi tidak sedikit orang yang menganggap Islam hanya dibentuk dari lima hal yaitu mengucap syahadat, melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan haji jika mampu.

Sebenarnya masih ada Rukun Iman yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab yang diturunkan Allah, kepada rasul-rasul Allah, kepada hari akhir (kiamat), serta kepada qadha dan qadar. Tapi kelihatannya perhatian terhadap Rukun Iman tidak terlalu besar seperti halnya terhadap Rukun Islam. Terus terang saya sendiri tidak terlalu hafal urutan Rukun Iman.

Sejauh pemahaman saya, keduanya tidak bisa terlepaskan antara satu dan lainnya. Keyakinan sebaiknya direfleksikan dengan amal. Amal itu sendiri merupakan cermin sedalam apa keyakinan seseorang. Mengamalkan Rukun Islam tanpa didasari Rukun Iman pada akhirnya menjadikan Islam berisi pedoman ibadah ritual semata.

Jauh sebelum saya mengenal Islam, saya merupakan bagian dari orang-orang yang (terpaksa) mengamalkan Rukun Islam dan cukup hafal Rukun Iman. Tidak ada satu pun sifat dan perbuatan saya yang mencerminkan bahwa diri saya seorang Muslim kecuali saat saya shalat, puasa, dan membayar zakat. Pada saat itu (hingga saat ini) saya masih belum mampu melaksanakan haji. Saat itu saya menganggap menjadi seorang Muslim memang hanya berarti seorang manusia yang melaksanakan shalat, puasa, dan membayar zakat.

Setelah saya mengenal Islam, saya mulai menyadari bagaimana Islam dapat menjadi rahmat bagi semesta alam. Saya mulai mengetahui bagaimana Islam dapat membawa ketentraman bagi setiap manusia terlepas dari apakah manusia itu Muslim atau bukan Muslim.

Ambil saja contoh sifat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak ada satu manusia pun yang luput dari rasa sayangnya. Setiap manusia dijanjikan rezeki yang kenikmatan. Hal ini tentunya terkait dengan beberapa faktor seperti usaha yang dilakukan manusia terkait. Tapi Allah tidak membeda-bedakan dalam memberi rezeki. Tapi kasih-Nya hanya ditujukan pada orang-orang tertentu. Mereka yang beriman kepada diri-Nya dan melakukan amal shaleh yang pantas mendapat kasih-Nya. Salah satu bentuk kasih Allah itu adalah imbalan kenikmatan abadi yang dijanjikan-Nya.

Saat saya belajar dari sifat Allah tersebut, saya menyadari bahwa menjadi seorang Muslim harus berlaku adil tanpa melihat apakah orang lain itu Muslim atau bukan. Tapi rasa kasih seorang Muslim ditujukan terutama kepada sesama Muslim.

Sifat tersebut hampir mirip dengan bagaimana kita menyikapi keluarga. Misalkan anak kita berkelahi dengan anak orang lain. Kita jangan serta merta membela anak kita tanpa mau mendengarkan penjelasan anak orang lain itu. Kalau memang anak kita yang salah, maka kita harus menerima kenyataan itu. Tapi bila anak kita sakit, tentu kita akan mendahulukan pengobatan anak kita walaupun kita tahu ada anak orang lain yang juga sakit.

Masih banyak contoh lain yang bisa saya kemukakan. Tapi sebaiknya saya tuangkan dalam tulisan-tulisan lain. Untuk saat ini saya hanya ingin menekankan persepsi saya bahwa Islam itu lebih dari sekedar shalat, puasa, dan zakat. Islam tidak akan menjadi Islam kalau semua Muslim hanya berhenti di shalat, puasa, dan zakat.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95611077/9e2d1855/LebihDariSekedarShalatPuasaDanZakat.html

01 September 2008

Apa itu Islam?

Saya yakin ada lebih dari satu jawaban untuk pertanyaan tersebut. Apalagi setelah tragedi pembajakan beberapa buah pesawat pada tanggal 11 September 2001. Peristiwa itu berujung dengan tabrakan besar pada gedung World Trade Center dan The Pentagon di Amerika Serikat. Sejak peristiwa itu Islam tidak lagi dipandang sebagai sekedar agama. Islam dipandang sebagai doktrin yang mengajarkan kekerasan. Beberapa opini yang terlontar bahkan menyetarakan Islam dengan propaganda Nazi.

Ternyata dunia ini begitu mudah dipengaruhi. Saya akui skenarionya menakjubkan walau mengorbankan banyak nyawa dan merugikan banyak pihak. Ribuan orang mati di tanah Paman Sam pada peristiwa 11 September tersebut. Negara Adidaya tersebut pun menuding salah satu pemeluk Islam sebagai pelakunya. Berbagai media menyuarakan aspirasi tersebut. Akibat nila setitik, rusak susu sebelangga. Islam pun berubah menjadi agama yang kelam.

Kemarahan dunia telah merusak nama baik Islam. Dan semua itu diakibatkan oleh segelintir orang yang diklaim melakukan aksi teroris atas nama Islam. Banyak dari mereka yang marah sepertinya tidak lagi berkenan untuk melihat lebih jauh tentang Islam. Persepsi mereka terhadap Islam akhirnya dibatasi oleh opini umum dan propaganda media.

Salah satu dari berbagai hal yang saya pelajari dari Islam adalah pengendalian diri. Saya belajar untuk senantiasa bersikap jujur, menjaga amarah, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (bukan hanya dengan sesama Muslim), menahan diri dari melakukan kekerasan, menghargai nyawa manusia, dan berbagai hal lain melalui Islam. Saya tidak pernah melihat Islam sebagai pedoman untuk membunuh manusia yang bukan Muslim. Saya bahkan tidak pernah melihat Islam sebagai ajaran yang mendahulukan kekerasan.

Seiring saya mengenal Islam lebih dalam, saya memang sempat menemukan beberapa ajakan untuk bersikap tegas. Tegas di sini tentunya berbeda dengan keras. Dan sepertinya ajakan untuk bersikap tegas adalah saat Muslim sedang diolok-olok atau dipermainkan. Saat Muslim diserang, saat itu Muslim bertahan atau bahkan balas menyerang. Tapi saya tidak pernah menemukan anjuran untuk membantai orang-orang yang bukan Muslim atau memimpin dengan kekerasan.

Islam sering terlihat brutal karena perilaku orang-orang Muslim itu sendiri. Tapi Islam itu tidak brutal. Orang-orang Muslim bersifat brutal bukan karena mereka memeluk agama Islam. Mereka bersifat brutal karena memang manusia punya sifat dasar untuk bersikap kasar sementara mereka tidak bisa menjadikan Islam sebagai benteng untuk menahan dorongan emosi. Sungguh mengecewakan saat Islam hanya dilihat dari perilaku orang-orang Muslim semata.

Saya sendiri melihat Islam sebagai pedoman hidup. Bagi diri saya Islam bukan sekedar agama yang hanya mengajak saya untuk melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan naik haji jika saya mampu. Bagi diri saya Islam merupakan panduan yang senantiasa saya gunakan dalam menjalani hidup saya sejak bangun pagi sampai tidur malam.

Sampai titik ini, saya tidak merasa diri saya adalah seorang teroris. Hidup saya pun senantiasa fleksibel. Saya tidak merasa diri saya adalah seorang fundamentalis. Islam memang tegas. Tapi ketegasan itu ada tempatnya. Di luar itu yang ditawarkan oleh Islam adalah kemudahan.

Islam adalah pedoman hidup yang baik. Muslim yang tidak memiliki sifat dan sikap yang baik mungkin belum mampu memahami Islam dengan baik sehingga tidak mampu menjadikan Islam sebagai pembawa rahmat bagi hidupnya.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95612440/3ed8d907/ApaItuIslam.html

Tentang Blog Ini

Bertahun-tahun memeluk agama Islam tidak serta-merta menjadikan seseorang mengerti tentang Islam. Apalagi bila orang itu tidak memiliki niat untuk mempelajari lebih jauh tentang Islam. Rendahnya pemahaman terhadap Islam ini yang kerap kali tidak bisa menjadikan Islam sebagai rahmat bagi para pemeluknya. Rendahnya pemahaman ini bahkan dapat menjadikan Islam sebagai beban di mata para pemeluknya.

Blog ini dibuat dengan tujuan memahami Islam. Blog ini berisi aspirasi dan opini seorang awam yang berusaha semaksimal mungkin untuk memahami Islam melalui penalaran yang logis. Blog ini berisi persepsi seorang awam tersebut terhadap berbagai hal yang terkait dengan Islam. Blog ini merupakan catatan perjalanan seorang awam dalam usahanya menggali lebih jauh tentang Islam.

PERHATIAN
Jangan pernah menjadikan blog ini sebagai sumber referensi kecuali bila blog ini mencantumkan rujukan yang jelas. Walaupun demikian tetap disarankan bagi pembaca blog ini untuk mencari rujukan lebih lanjut.