15 November 2009

Memahami Zakat Profesi

Sampai saat ini masih banyak perbedaan pendapat mengenai zakat profesi. Tidak hanya di kalangan awam, perbedaan pendapat ini juga terjadi di kalangan para ulama. Saya pribadi mengalami kesulitan memahami bagaimana hukum zakat profesi yang benar. Berhubung zakat adalah masalah ibadah, saya senantiasa berhati-hati dalam melangkah.

Kehati-hatian saya dalam melangkah sempat membawa saya pada titik ekstrim. Saya selalu menyisihkan 2.5% dari setiap rupiah yang saya terima untuk dizakatkan. Uang zakat ini saya kumpulkan di tempat terpisah untuk disalurkan bila waktu penyalurannya sudah tiba. Umumnya saya menunggu satu tahun atau pada kondisi-kondisi khusus seperti bantuan untuk korban bencana alam atau korban perang.

Saat ini saya coba meluruskan kembali pemahaman saya mengenai Zakat Profesi. Hasil berselancar di Internet membawa saya pada kesimpulan bahwa perbedaan pendapat mengenai Zakat Profesi masih ada. Akhirnya saya harus memilih pendapat yang memang sesuai dengan keyakinan saya.

Keyakinan saya setelah membaca berbagai referensi di Internet adalah sebagai berikut:
  1. Kadar (tarif): 2,5% dari penghasilan bersih.
    Yang dimaksud dengan penghasilan bersih adalah penghasilan kotor (gross) dikurangi pengeluaran-pengeluaran pokok.
  2. Nisab (penghasilan bersih tidak kena zakat): kurang dari harga 85 gram emas.
  3. Haul (jatuh tempo): satu tahun Hijriyah sejak pertama kali mendapatkan penghasilan.
Dari tiga hal yang saya tegaskan di atas, perhatian lebih perlu ditempatkan untuk masalah "penghasilan bersih". Dalam konteks zakat, penghasilan bersih adalah penghasilan kotor dikurangi pengeluaran-pengeluaran pokok. Contoh pengeluaran pokok ini antara lain biaya hidup seseorang termasuk tanggungan-tanggungannya, pembayaran cicilan tempat tinggal, atau pembayaran hutang.

Elemen-elemen pengeluaran pokok itu tidak terbatas pada contoh-contoh di atas. Penentuan besaran pengeluaran untuk masing-masing elemen pun diserahkan pada orang yang bersangkutan. Yang perlu diperhatikan adalah setiap orang harus hati-hati menentukan elemen dan besaran pengeluaran pokok tersebut. Jangan sampai kebutuhan yang seharusnya tidak pokok pun dijadikan kebutuhan pokok. Bagi mereka yang ingin berhati-hati, saya sarankan zakat Anda dihitung dari penghasilan kotor saja ketimbang dari penghasilan bersih.

Saya sendiri memiliki kecenderungan untuk menggunakan penghasilan kotor sebagai dasar penghitungan zakat. Kalaupun ada pengeluaran pokok, biasanya saya hanya mencantumkan hutang atau cicilan. Seandainya tidak ada hutang atau cicilan, jumlah zakat yang saya sisihkan adalah 2.5% dari penghasilan kotor.

Misalkan saya menerima gaji sebesar Rp. 4.000.000 per bulan (bebas pajak). Dalam waktu 12 bulan Masehi saya akan menerima gaji sebesar Rp. 48.000.000. Alhamdulillah pada contoh ini saya tidak memiliki hutang atau cicilan. Kalau harga 85 gram emas adalah Rp. 30.000.000, maka saya wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% x Rp. 48.000.000. Waktu pembayaran adalah setiap satu tahun Hijriyah. Untuk memudahkan diri saya sendiri, saya memilih bulan Ramadhan sebagai waktu mengeluarkan zakat setiap tahun Hijriyah.

Referensi:
--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/Sx4Woc0F/MemahamiZakatProfesi.html