27 November 2008

Muslim dalam Masyarakat

Islam tidak pernah mengajarkan Muslim untuk mengucilkan dirinya dari anggota masyarakat lain. Islam tidak pernah mengajarkan untuk membentuk kelompok-kelompok Muslim yang eksklusif. Islam mengajarkan agar setiap Muslim berbaur ke dalam berbagai bentuk kelompok sosial seraya mempertahankan jati dirinya sebagai seorang Muslim.

Toleransi merupakan bagian penting untuk berbaur ke dalam masyarakat. Toleransi yang dimaksud bukan sebatas menghormati perbedaan kepercayaan dan keyakinan, tapi juga menghormati keberadaan hukum, aturan, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk melakukan itu, setiap Muslim perlu menemukan keseimbangan antara mempertahankan ajaran Islam dan mengikuti aturan yang ada di masyarakat.

Hal tersebut adalah hal yang penting untuk dilakukan oleh setiap Muslim agar Islam dapat diterima dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena dakwah Islam tidak mungkin berjalan dengan baik bila Islam tidak dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Kita tidak mungkin mengajak orang untuk masuk ke dalam sesuatu yang mereka benci atau takuti.

Seperti yang saya sebutkan di atas, setiap Muslim perlu menemukan kombinasi yang tepat antara hukum Islam dan hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini berarti menegaskan batas antara hal-hal yang memang menjadi prinsip dalam Islam dan hal-hal yang tidak perlu dipaksakan.

Contoh yang bisa saya berikan adalah pernikahan di bawah umur. Definisi "di bawah umur" ini, setahu saya, mengacu kepada pasal 7 dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa yang diperbolehkan menikah adalah pria dengan umur paling rendah 19 tahun dan wanita dengan umur paling rendah 16 tahun.

Apa yang terjadi kalau ada seorang pria Muslim menikah dengan gadis berumur di bawah 16 tahun? Tentu akan ada penolakan. Kalau seorang pria Muslim itu menegaskan bahwa pernikahan itu sah dalam Islam, maka penolakan itu bisa jadi membengkak dari penolakan terhadap individu menjadi penolakan terhadap Islam.

Contoh lain adalah poligami. Bentuk pernikahan yang diperbolehkan (bukan dianjurkan) dalam Islam dengan batas atas 4 (empat) orang istri ini adalah sesuatu yang ditentang oleh masyarakat Islam secara umum; terutama kaum wanita. Sepertinya banyak pernikahan poligami yang berujung pada ketidakadilan dalam perlakuan suami terhadap istri yang lebih cenderung kepada istri yang lebih baru.

Apa yang terjadi kalau ada seorang pria Muslim melakukan poligami? Tentu akan ada penolakan. Kalau alasan utama poligami itu semata-mata karena Islam memperbolehkannya, penolakan itu juga akan berubah dari penolakan terhadap individu menjadi penolakan terhadap Islam.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain yang bisa saya berikan. Tapi tujuan saya memberikan contoh itu terkait dengan batas antara yang bersifat prinsip dan yang tidak perlu dipaksakan. Apakah kedua contoh di atas termasuk hal yang bersifat prinsip atau hal yang tidak perlu dipaksakan? Saya pribadi memasukan kedua contoh di atas ke dalam golongan kedua; hal yang tidak perlu dipaksakan.

Saya sangat menyayangkan sikap yang memaksakan hal-hal yang tidak bersifat prinsip namun pada akhirnya mencoreng nama baik Islam. Padahal setiap Muslim, secara implisit, memiliki tugas untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Islam adalah ajaran yang membawa kebaikan. Kalau memang tidak mampu membawa kebaikan, paling tidak Islam mengajarkan setiap Muslim untuk tidak membawa keburukan.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95605193/b4032512/MuslimDalamMasyarakat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.