06 September 2010

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari 'ied jatuh pada hari Jum'at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat 'ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum'at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum'at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum'at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat 'ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari 'Umar, 'Utsman, 'Ali, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, "Aku pernah menemani Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom, "Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dengan dua 'ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum'at) dalam satu hari?" "Iya", jawab Zaid. Kemudian Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang beliau lakukan ketika itu?" "Beliau melaksanakan shalat 'ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum'at", jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mau shalat Jum'at, maka silakan melaksanakannya."[439]

Kedua: Dari 'Atho', ia berkata, "Ibnu Az Zubair ketika hari 'ied yang jatuh pada hari Jum'at pernah shalat 'ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum'at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu 'Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu 'Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu 'Abbas. Ibnu 'Abbas pun mengatakan, "Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah]."[440] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu' yaitu menjadi perkataan Nabi.[441]

Diceritakan pula bahwa 'Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu 'Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula 'Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat 'ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum'at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[442]

Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum'at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum'at atau yang tidak shalat 'ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu'man bin Basyir, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat 'ied dan shalat Jum'at "sabbihisma robbikal a'la" dan "hal ataka haditsul ghosiyah"." An Nu'man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari 'ied bertepatan dengan hari Jum'at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[443] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum'at yang bertepatan dengan hari 'ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid. Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum'at dan telah menghadiri shalat 'ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka'at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum'at.[444]

Catatan kaki:
[439] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu' (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). 'Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. 'Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi'ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[440] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[441] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[442] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[443] HR. Muslim no. 878.
[444] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyah wal Ifta', 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi' Al Ifta.

Sumber: Muhammad Abduh Tuasikal. 2010. Panduan Ramadhan; Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah. Pustaka Muslim bekerjasama dengan Buletin Dakwah At Tauhid Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

02 September 2010

Zakat adalah Energi

Zakat adalah Energi. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi cukup membuka mata. Saya menemukan kalimat ini dalam selebaran program Al-Azhar Peduli Ummat dari Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Isi selebarannya cukup menarik karena berisi kegiatan nyata program tersebut, tapi tulisan ini tidak bermaksud membahas isi selebaran ini.

Kembali ke kalimat "Zakat adalah Energi". Saya sendiri memperlakukan zakat sebagai kewajiban. Zakat adalah sesuatu yang harus saya tunaikan terkait dengan keyakinan saya sebagai seorang Muslim. Salah satu manfaat nyata yang dapat saya rasakan dari zakat adalah kesucian harta yang saya miliki dan manfaatkan. Kadang manfaat yang saya rasakan hanya sebatas itu.

Memang ada kalanya saya sadar bahwa zakat yang saya tunaikan akan sampai ke tangan-tangan para mustahik (orang yang berhak menerima) zakat. Di tangan mereka zakat-zakat saya akan memberikan manfaat. Sayangnya saya tidak secara tegas melihat zakat sebagai energi, yaitu sesuatu yang memungkinkan para mustahik zakat untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupannya.

Kalau saja saya melihat zakat sebagai energi, maka saya pasti mampu melihat banyaknya manfaat dari menunaikan zakat. Seandainya zakat dialokasikan untuk membiayai studi orang-orang miskin, tentu manfaatnya akan berlipat ganda. Orang-orang ini akan bertambah ilmu, kemudian mampu mencari penghidupan yang lebih baik. Pada akhirnya orang-orang ini bisa keluar dari jurang kemiskinan. Contoh lain bila zakat dialokasikan untuk membantu usaha orang-orang miskin. Hal ini juga memiliki potensi nyata mengangkat derajat kehidupan orang-orang miskin.

Dengan luasnya manfaat zakat ini, setiap Muslim tentu menyadari potensi amal baik yang dapat mereka terima dengan menunaikan zakat. Amal baik seseorang lewat menunaikan zakat mungkin akan terus berlipat ganda tanpa henti seiring dengan banyaknya manfaat yang didapat dari zakatnya.

Misalkan zakat kita ternyata dimanfaatkan oleh seorang mustahik untuk membuka usaha. Usaha itu ternyata berkembang seiring dengan semangat kerja mustahik itu. Tidak berapa lama mustahik itu mampu keluar dari kemiskinan dan berbalik menjadi muzakki (orang yang wajib membayar zakat). Usahanya pun terus berkembang sehingga mampu membuka lapangan kerja baru. Tentu kita dapat bayangkan betapa banyaknya manfaat yang kita berikan lewat zakat kita, betapa banyaknya amal baik yang kita peroleh, betapa banyaknya tabungan akhirat yang kita miliki.

Jadi pada dasarnya potensi amal baik dalam zakat itu tidak terbatas pada kesucian harta atau pada kewajiban semata. Zakat yang kita tunaikan dapat membantu membawa perubahan terhadap kesejahteraan para mustahik zakat. Dengan menunaikan zakat, kita turut andil membantu orang-orang miskin menemukan kehidupan yang lebih baik.

Tulisan terkait:
Memahami Zakat Profesi

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

27 Agustus 2010

Haruskah Kita Menghormati Orang yang Berpuasa?

Terkait dengan bulan Ramadhan, haruskah orang-orang yang tidak berpuasa menghormati orang-orang Islam yang berpuasa dengan tidak makan dan minum di tempat terbuka? Bukankah puasa di bulan Ramadhan itu merupakan kewajiban yang tidak dipengaruhi oleh sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya? Jadi mengapa tidak orang-orang yang tidak berpuasa itu makan dan minum seperti biasa di bulan Ramadhan ini?

Jawaban dari pertanyaan di atas menurut saya mengacu kepada peribahasa, "Di situ bumi dipijak, di situ langit dijunjung" atau "When in Rome, do what the Romans do." Menghormati orang-orang Islam yang berpuasa adalah bagian dari kesadaran untuk "menjunjung langit" karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Jadi orang-orang yang tidak berpuasa dan hidup di Indonesia seyogyanya menghormati orang-orang Islam yang berpuasa dengan tidak makan dan minum di tempat umum.

Walaupun begitu, semua tetap dikembalikan kepada "bumi yang dipijak". Kalau kita berada di daerah yang orang-orangnya mayoritas tidak berpuasa, makan dan minum di tempat umum sepertinya tidak akan menjadi masalah. Toh tidak semua daerah di Indonesia ini mayoritas penduduknya beragama Islam.

Perumpamaan dengan peribahasa di atas pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan terhadap kelompok mayoritas. Kita ambil contoh rumah ibadah. Apakah pantas orang beragama kristen meneriakan "haleluya" di dalam sebuah masjid? Kemudian apakah pantas orang beragama Islam meneriakan "Allahu Akbar" di dalam sebuah gereja? Kita dapat ambil contoh yang lebih umum. Apakah pantas seseorang masuk kerja menggunakan kaus oblong dan celana jeans? Pada umumnya hal ini tidak pantas, kecuali tempat kerjanya memang memberi kebebasan berpakaian secara penuh kepada karyawannya.

Contoh bentuk penghormatan seperti di atas dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari karena hal ini adalah hal yang berlaku umum dalam masyarakat. Menghormati adat dan kebiasaan golongan mayoritas adalah bagian dari tata krama hidup bermasyarakat. Baik secara sadar maupun tidak sadar, setiap orang akan menjunjung langit tempat kakinya berpijak. Jadi selama bulan Ramadhan ini wajar bila orang-orang yang berpuasa mengharapkan agar orang-orang yang tidak berpuasa tidak makan dan minum di tempat terbuka.

Kalau memang "wajar", kenapa masih saja ada yang mempertanyakan keharusan menghormati orang yang berpuasa? Saya rasa pertanyaan ini ada kaitannya dengan kesewenang-wenangan kelompok mayoritas. Bukan tidak mungkin sebagian orang Islam di negara Indonesia ini merasa dibenarkan untuk memaksakan penghormatan kepada orang-orang yang berpuasa. Alhasil kelompok minoritas, yaitu orang-orang yang tidak berpuasa, merasa tertekan. Penghormatan yang tadinya dibentuk dengan kesadaran semakin lama justru dibentuk dengan keterpaksaan. Rasa terpaksa yang menumpuk itu akhirnya membludak dan orang-orang pun mempertanyakan keharusan untuk menghormati orang-orang Islam yang berpuasa di bulan Ramadhan ini.

Setiap orang berhak dihormati terlepas dari mayoritas atau minoritas. Kalau orang-orang yang berpuasa berhak dihormati, maka orang-orang yang tidak berpuasa pun berhak dihormati. Kalau orang-orang yang tidak berpuasa wajib menghormati, makan orang-orang yang berpuasa pun wajib menghormati. Selama kedua belah pihak saling menjaga rasa hormat antara satu sama lain, maka bulan Ramadhan ini tidak perlu diwarnai dengan polemik makan dan minum di tempat terbuka.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

21 Juli 2010

Bicara Kopi Luwak

Kutipan percakapan di bawah ini diambil apa adanya dari sebuah akun di facebook. Kutipan di bawah ini sengaja dipublikasikan di blog ini sebagai tambahan informasi untuk menambah wawasan mengenai perbedaan pendapat mengenai Kopi Luwak.

Satu: MUI menegaskan bahwa Kopi Luwak itu Halal.

Dua: ...emang bener2 perlu fatwa MUI kalo KOPI itu ga haram...?

Satu: Kalau cuma kopi kayaknya gak perlu, tapi kalau berkaitan dengan sesuatu yang keluar dari anus binanatang mungkin perlu.

Anton: I doubt it would be the most expensive coffee in the world if it had poo stains lol. congrats to mui, they've successfully become a laughing stock once again.

Dua: jadi, dokter hewan itu pekerjaan halal apa haram?

Satu: Maksud pernyataan lo ke arah mana, Dua?

Dua: ke arah logika dengan semua yang berhubungan ama 'sesuatu yang keluar dari anus binatang' perlu ditetapkan halal apa nggak... kalo tu biji kopi keluar dari anus anjing ato babi, oke lah, maklum gw...tapi dari luwak?

Satu: Kotoran binatang itu najis terlepas dari jenis binatangnya; gak spesifik ke babi dan anjing. Kopi Luwak itu kan keluar dari anus Luwak. Jadi muncul perdebatan akan kehalalannya karena bahan baku utama Kopi Luwak itu keluar bersama kotoran Luwak yang masuk kategori najis itu. Gw justru gak ngerti cara lo menghubungkan dokter hewan dalam konteks ini karena pekerjaan dokter hewan gak ada hubungannya dengan memakan sesuatu yang masuk kategori najis.

Dua: karena dokter hewan ga memakan kotoran binatang seperti halnya peminum kopi luwak yang bijinya udah dibersihin? ato emang kebanyakan orang su'udzon biji kopi luwak itu akan dan selalu kotor karena keluar dari anus binatang? apa orang banyak yang su'udzon soal daging sapi dibacain basmalah pas dipotong apa nggak? apa orang banyak yang su'udzon soal daging ayam dibacain basmalah pas dipotong apa nggak? apa orang banyak yang su'udzon soal ikan lele yang dipiaranya di septic tank apa nggak (apalagi yang di warung2)? kalo jawaban buat semua di atas itu 'nggak', gw ga ngerti knapa kopi luwak sampe perlu fatwa halal...apa gara2 banyak orang su'udzon biji kopinya ga bersih dicucinya? lagian, semua sayuran yang pupuknya pake kotoran hewan itu apa juga cenderung ga halal karena siapa tau dicucinya ga bersih sebelom dijual?

Satu: Yang membuat gw pribadi ragu minum kopi luwak adalah kenyataan bahwa itu adalah kotoran hewan. Apa pun penjelasan yang menegaskan kebersihan prosesnya, gw tetap merasa bahwa minum kopi luwak adalah minum kotoran hewan. Jadi buat gw pribadi itu bukan masalah bersih atau tidak bersihnya. Sementara bagi orang lain, gw gak terlalu tahu. Mungkin logika lo mengenai persangkaan bahwa kotor atau tidak kotor itu mengena. Cuma untuk perbandingannya gw kurang setuju, Dua. Pertama, sembelih dengan basmalah itu bukan sesuatu yang pasti dan kita sebaiknya berbaik sangka. Sementara Kopi Luwak itu PASTI keluar dari anus Luwak. Kedua, yang dimakan dari lele adalah dagingnya (bukan tahinya) sementara daging ikan tidak ada yang diharamkan untuk dimakan. Kondisi ini juga berbeda dengan kopi luwak karena yang dimakan dari kopi luwak adalah bagian dari tahinya. Ketiga, untuk sayuran. Emang sebelum dimasak gak dicuci dulu ya? :)

Dua: pertama, perbandingan dari lo soal daging sapi yang kurang ngena... gw ngebandingin pemrosesannya sebelom dijual, BUKAN asal muasalnya... kedua, apakah air tempat lele tersebut menjadi bagian dari ikannya? again, masalah pemrosesan... ketiga, lagi2 masalah pemrosesan... untuk ketiga masalah di atas, kita ga perlu fatwa MUI buat nganggep itu halal... kopi luwak itu udah ada sejak lama...knapa baru sekarang?

Satu: Gw pribadi melihat bahwa pendapat yang mengatakan Kopi Luwak itu haram justru melihat dari asalnya, yaitu dari kotoran hewan. Oleh karena itu gw gak setuju dengan analogi lo. Daging sapi atau ayam itu halal. Dia menjadi haram bila sapinya itu bangkai atau disembelih tanpa basmalah. Kalau masalah sembelih sendiri kita gak bisa pastikan secara langsung. Oleh karena itu kita perlu berbaik sangka. Untuk daging lele, kalau pun daging lele itu ditimbun tahi pun tetap saja halal asalkan dibersihkan dengan baik; tapi kemungkinan besar orang bakal jijik memakannya. :) Itu karena daging lele pada dasarnya halal. Berbeda dengan kopi luwak yang pada hakikatnya adalah kotoran hewan. Hal yang sama berlaku untuk sayuran. Terus terang kalau dikaitkan dengan pernyataan MUI di link yang gw publish memang agak meleset. MUI kelihatannya hanya melihat ini dari prosesnya, bukan dari asalnya. Di titik ini, kalau lo masih melihat dari proses sementara gw melihat dari asal muasal, sebaiknya kita akhiri dengan kalimat "we agree to disagree". Toh ini cuma masalah kopi yang pada dasarnya bukan hal yang prinsip dalam Islam. :) PS: Kalau masalah "baru sekarang", kelihatannya karena MUI seringkali bersifat reaktif, Dua. Setelah ada isu halal-haram baru MUI bertindak. Kayaknya MUI sering banget kayak begini.

Dua: "Kalau masalah sembelih sendiri kita gak bisa pastikan secara langsung. Oleh karena itu kita perlu berbaik sangka." jadi intinya, orang ga bisa berbaik sangka soal gimana produsen kopi luwak ngebersihin biji kopinya? "Toh ini cuma masalah kopi yang pada dasarnya bukan hal yang prinsip dalam Islam. :)" exactly the reason gw nanya kenapa perlu fatwa MUI segala buat menyatakan kopi luwak itu halal...

Tiga: errr.. helloo.. kopi luwak berasal dari kotoran? si Luwak bukannya cuma roasting-machine hidup ya? :P Lagian orang yang minum juga mikir kali, mosok bakal mo beli mahal2 kl ada eek-nya :))

Dua: itulah guna fatwa MUI...biar orang masih mo bli mahal meskipun tau asal muasal biji kopi-nya... xb

Satu: @Tiga: Terlepas dari dibersihkan atau tidak, bahan bakunya kopi luwak itu adalah bagian dari kotoran luwak. Ini yang, menurut gw, menjadi alasan munculnya pendapat bahwa kopi luwak itu haram. @Dua: Masalah berbaik sangka. Daging sapi mentah itu kan dari hasil sembelih sapi. Proses sembelihnya dengan basmalah atau tidak itu (yang menjadi pembeda halal atau haramnya) kita tidak tahu. Bahan baku kopi luwak itu kan bagian dari kotoran luwak. Yang ini dah jelas. Bagi orang-orang yang berpendapat seperti ini, kopi luwak dianggap haram.

Satu: On a side note ... Gw ngerti maksud lo, Tiga. Kabarnya yang keluar dari anus Luwak sebagai bahan baku kopi luwak itu tidak mengalami pengolahan di dalam perut luwak. Itu artinya yang masuk sama dengan yang keluar. Kalau yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Dengan ini, gw koreksi statement gw bahwa bahan baku kopi luwak berasal dari kotoran luwak. Gw rubah menjadi bagian dari kotoran luwak. Gw sendiri masih gak bisa meyakinkan diri gw bahwa kopi luwak itu halal, tapi gw bertekad untuk tidak menyebarkan pendapat ini kepada orang lain karena memiliki resiko mempertajam perbedaan.

Tiga: tapi Satu, fatwanya udah keluar, “Kopi luwak hukumnya mutanajis. Artinya, kena najis, dinyatakan halal setelah melalui proses pencucian”

Tiga: Kl buat gueeee.... Hukum Kopi Luwak itu Haram kl gue beli sendiri, Halal kl dibeliin :))

Satu: Iya, Tiga. Gw terima kok kalau Kopi Luwak itu halal. Cuma merubah keyakinan kan gak butuh waktu sebentar. :) PS: Lebih haram lagi kalau sampai membelikan kopi luwak buat orang lain. :P

Silakan memberikan komentar bagi yang berkenan.

16 Juli 2010

Menjadi Muslim, Bangga atau Malu?

Islam adalah agama yang komprehensif. Ajarannya meliputi berbagai seluk kehidupan manusia. Mulai dari yang sederhana seperti cara makan sampai yang rumit seperti cara mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, semuanya diajarkan dalam Islam; baik melalui Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

Islam adalah agama dengan batasan yang fleksibel. Setiap Muslim diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu, tapi keringanan diberikan bagi Muslim yang sakit, berhalangan, atau ada dalam perjalanan. Kewajiban untuk shalat tetap berjalan sampai seorang Muslim mati, tapi aturan pelaksanaannya masih manusiawi.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan bertanggung jawab. Setiap Muslim diperbolehkan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain asalkan tetap menjaga aurat dan pandangan. Setiap Muslim diperbolehkan mengikuti bakat dan minatnya asalkan tidak berbenturan dengan ajaran-ajaran Islam.

Islam seharusnya menjadi agama (atau lebih tepatnya pegangan hidup) yang dapat dibanggakan. Setiap Muslim seharusnya bangga menjadi orang-orang yang menjaga aurat, pandangan, syahwat, dan emosi mereka. Setiap Muslim seharusnya bangga menjadi orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab.

Akan tetapi kenyataan di dunia ini sepertinya bertolak belakang. Islam bukan lagi agama yang membanggakan. Bahkan di mata orang-orang bukan beragama Islam, Islam justru terlihat sangat menakutkan. Islam di mata masyarakat pada umumnya lebih dekat kepada fundamentalis, ekstremis, dan teroris.

Ada sebegitu banyak nilai kebajikan (dan kebijakan) yang diajarkan dalam Islam, namun yang terlihat justru Islam yang buruk dan keras. Seolah-olah sudah terbentuk sebuah persepsi umum bahwa semakin dekat seseorang ke dalam Islam, semakin buruk dan keras sifat orang tersebut.

Setiap Muslim yang menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis bukan muhrim terlihat aneh. Setiap wanita Muslim yang memakai jilbab panjang terlihat janggal. Setiap pria Muslim dewasa yang tidak merasa nyaman menonton film mesum justru mengundang tawa. Setiap pria Muslim dewasa yang memanjangkan jenggotnya bahkan diolok-olok.

Ada begitu banyak karakter dalam Islam yang akhirnya tidak dapat diterima oleh masyarakat; baik secara eksplisit maupun implisit. Semakin lama semakin sedikit orang yang berani menunjukan identitasnya sebagai seorang Muslim. Kadang karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan, kadang karena khawatir dikucilkan teman dan keluarga, atau berbagai alasan lainnya. Semakin banyak orang yang tidak bangga dengan identitasnya sebagai seorang Muslim.

Pada akhirnya semakin banyak orang-orang yang mengaku beragama Islam tanpa karakter seorang Muslim. Pergaulan bebas (bahkan seks bebas), mempertontonkan aurat, bergunjing, berjudi, mempercayai ramalan, dan berbagai hal lain dilakukan oleh mereka. Hal ini menjadi lebih ironis karena pada saat yang sama orang-orang ini tetap melaksanakan shalat lima waktu (atau mungkin sudah dikurangi menjadi dua atau tiga waktu saja?).

Hilangnya rasa kebanggaan sebagai seorang Muslim tentunya didorong oleh banyak faktor. Masyarakat pada umumnya melihat ke arah barat sebagai suri teladan mereka. Negara-negara barat jelas-jelas dipandang lebih tinggi oleh masyarakat pada umumnya. Cara menghias diri, cara berpakaian, cara bekerja, cara bersenang-senang, dan berbagai pola hidup masyarakat barat diteladani; termasuk produk keluaran negara-negara barat itu.

Cara meneladani negara barat itu mudah. Setiap orang dapat melihat gaya hidup orang-orang di negara barat itu melalui televisi. Stasiun televisi lokal saat ini tidak hanya menyiarkan acara-acara dari negara-negara lain, tapi juga mengadopsi atau bahkan membuat versi sendiri dari acara-acara itu. Sampai-sampai banyak pihak menganggap stasiun televisi negara ini tidak lagi memiliki kreatifitas yang memadai.

Televisi memang memiliki andil yang besar dalam mencitrakan kriteria seorang Muslim yang baik di negara Indonesia ini. Pemberitaan mengenai kekerasan umat Islam ditambah minimnya ekspos terhadap kebaikan dalam Islam membuat orang berpikir berpuluh-puluh kali sebelum mendekat lebih jauh ke arah Islam. Yang lebih ironis lagi adalah kebanyakan orang memilih menjadikan sinetron religi (tapi tidak religius) sebagai tolok ukur karakter seorang Muslim.

Akhirnya semakin banyak orang Muslim yang tidak berbeda dengan orang yang bukan Muslim. Shalat wajib dilakukan kalau sempat (dan kalau ingat), bergaul tanpa melihat batas muhrim atau non-muhrim, makan-minum sambil berdiri (dan menggunakan tangan kiri), seks bebas menjadi masalah privasi (dan bukan masalah dosa), taruhan menjadi masalah sepele, takdir Allah SWT disandingkan dengan ramalan (oleh manusia, binatang, bahkan benda mati), dan daftar ini pun terus berlanjut.

Oleh karena itu, saya rasa pantas bila timbul pertanyaan apakah menjadi Muslim itu sebuah kebanggaan atau sebaliknya justru memalukan. Memang tidak semua orang sungkan atau bahkan malu menjadi seorang Muslim yang komprehensif, tapi berapa banyak orang-orang yang bangga ini bila dibandingkan dengan orang-orang yang merasa sebaliknya? Semoga kita bisa tetap bangga menjadi Muslim.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/rI7ousaG/MenjadiMuslimBanggaAtauSungkan.html

30 Juni 2010

Perbedaan Kecil


Menyempatkan diri untuk shalat wajib di awal waktu
/Shalat wajib di awal waktu kalau sempat
Menyisakan uang untuk bersedekah
/Bersedekah bila ada uang sisa
Mengharuskan diri untuk hidup jujur
/Hidup jujur hanya bila diharuskan
Hidup untuk memberikan manfaat
/Hidup untuk mengeruk manfaat

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)

06 Juni 2010

Akankah Palestina Merdeka?

Apakah rakyat Palestina layak mendapatkan kemerdekaan? Ya. Kenapa rakyat Palestina layak mendapatkan kemerdekaan? Karena kemerdekaan adalah hak asasi setiap manusia yang hidup di muka bumi ini tanpa memandang ras, agama, atau embel-embel lainnya. Kapan Palestina akan merdeka? Bagaimana Palestina akan merdeka? Dua pertanyaan terakhir tentunya sangat sulit untuk dijawab.

Sampai tulisan ini saya buat, penjajahan yang dilakukan bangsa Israel terhadap bangsa Palestina masih belum berhenti. Bagi sebagian orang, bentuk penjajahan yang dilakukan Israel mungkin tidak selalu dapat dilihat secara kasat mata. Saat terjadi agresi militer oleh Israel terhadap Palestina, saat terjadi insiden berdarah yang mengorbankan rakyat Palestina, saat itulah penjajahan yang dilakukan Israel dapat dengan mudah dicerna.

Akan tetapi, bentuk penjajahan yang frontal seperti itu hanya dilakukan sesekali waktu. Kita perlu melihat dengan mata yang lebih jeli untuk menyadari adanya penjajahan yang bersifat berkesinambungan di negara Palestina. Saat ini Palestina memang sudah memiliki presiden, sudah menyelenggarakan pemilihan umum, dan sudah diakui batas-batas negaranya oleh dunia internasional. Namun semua itu bukan berarti bahwa kemerdekaan sudah terwujud di negara Palestina.

Menjadi merdeka berarti menjadi orang yang memiliki kebebasan untuk hidup dan berkembang. Rakyat Palestina dapat dikatakan tidak memiliki kebebasan seperti ini. Sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup dan berkembang sangat sulit didapat. Bantuan kemanusiaan yang datang dari negara lain diblokade oleh Israel. Negara Mesir (negara tetangga yang bersebelahan dengan Jalur Gaza) memiliki kebijakan senada dengan Israel. Apakah dengan kondisi seperti ini Palestina dapat disebut merdeka?

Israel menjaga sedemikian rupa agar Palestina tidak dapat berkembang. Rakyat Palestina dibiarkan hidup apa adanya dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah datangnya bantuan dari luar negeri ke dalam Palestina. Rakyat Palestina dapat diibaratkan sebagai budak-budak dari negara Israel yang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun kecuali atas ijin majikannya.

Kadang sulit bagi kita untuk memberikan simpati kepada rakyat Palestina. Apalagi negeri kita sendiri dapat dikatakan masih semrawut. Masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan diperlakukan secara tidak adil. Bagaimana mau memikirkan kondisi orang lain kalau kondisi kita sendiri masih memprihatinkan, begitu pikir kita. Walaupun begitu, saya yakin masih banyak rakyat Indonesia yang hidup berkecukupan serta mampu membagi pikiran (dan hartanya) untuk Indonesia dan juga Palestina.

Ada cara mudah untuk membuka hati kepada Palestina. Seandainya negara yang dijanjikan kepada bangsa Israel (yang dipercaya sebagai pemberian dari Tuhan mereka) adalah Indonesia, saya yakin rakyat Indonesia dapat membayangkan pedihnya penjajahan yang akan dilakukan Israel. Bangunan-bangunan hancur, orang-orang terbunuh, anak-anak kehilangan orang tuanya, dan masih banyak lagi kepedihan yang ditimbulkan akibat penjajahan. Mudah untuk dibayangkan bukan? Rakyat Indonesia yang pernah hidup dalam masa pendudukan Belanda dan Jepang akan lebih mudah lagi membayangkan pedihnya penjajahan.

Rakyat Palestina tentunya membutuhkan simpati kita, tapi yang benar-benar dibutuhkan mereka adalah bentuk nyata dari simpati kita. Protes dalam bentuk apa pun terhadap kekejaman Israel, donasi uang atau dalam bentuk lain, atau kesediaan untuk menjadi relawan adalah contoh bentuk nyata simpati kita. Mereka berusaha dengan segenap usaha mereka untuk memperbaiki diri, tumbuh, menjadi kuat, dan pada akhirnya menjadi mandiri. Untuk saat ini, mereka sangat membutuhkan bantuan kita untuk melakukan itu.

Simpati dapat kita wujudkan dalam berbagai bentuk. Kita dapat ikut melakukan boikot terhadap produk-produk dari perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel. Kita dapat menyisihkan penghasilan kita untuk disumbangkan ke Palestina lewat lembaga kemanusiaan yang kredibel. Kita dapat menyuarakan protes kita terhadap Israel lewat berbagai media. Ada banyak cara untuk mewujudkan simpati kita kepada rakyat Palestina. Dengan bantuan yang berkesinambungan, mungkin Palestina bisa benar-benar merdeka.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/zAWcUglN/AkankahPalestinaMerdeka.html

20 April 2010

Hidup Dalam Kerangka Manfaat

Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat. Prinsip ini tercantum dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain,” yang diriwayatkan oleh Bukhari. Prinsip hidup ini merupakan prinsip dasar yang perlu kita terapkan dalam hidup kita untuk mencapai kemuliaan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dengan hidup bermanfaat, kemuliaan akan dengan mudah dicapai. Selain ditegaskan oleh Rasulullah melalui hadits di atas, hal ini pun dapat dilihat secara jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang memberi sudah jelas lebih mulia dibandingkan orang yang menerima. Apalagi kalau yang diberikan itu adalah manfaat, maka derajat kemuliaan yang didapatkan tentu akan lebih tinggi.

Dengan memberikan manfaat, hidup pun tidak akan menjadi sia-sia. Seseorang yang mengisi hidupnya dengan memberikan manfaat sama saja dengan memberikan nilai pada diri dan hidupnya. Untuk setiap manfaat yang diberikan kepada orang lain akan mendatangkan sejumlah nilai pada diri dan hidup seseorang. Semakin banyak manfaat yang diberikan, semakin bernilai diri dan hidup seseorang. Nilai pada diri dan hidup seseorang itu akan datang terlepas kepada siapa atau ke mana manfaat yang diberikan. Oleh karena itu, hidup orang yang senantiasa memberikan manfaat itu tidak akan sia-sia.

Dengan memiliki hidup yang bernilai, mencapai kebahagiaan akan menjadi lebih mudah. Seseorang akan lebih mudah puas dengan hidupnya walau banyak tujuan hidupnya yang tidak tercapai. Walau tujuan hidup tidak tercapai, seseorang akan lebih mudah menerima kegagalannya. Hal ini disebabkan kegagalan itu jauh dari kesia-siaan karena dalam prosesnya, orang itu senantiasa menjadikan hidupnya bernilai dengan memberikan manfaat.

Jaminan kebahagiaan di akhirat juga akan lebih mudah tercapai karena dengan memberikan manfaat sama saja dengan mengumpulkan amal kebaikan untuk diri sendiri. Selain memberi nilai bagi kehidupan di dunia, memberikan manfaat kepada orang lain juga menambah berat timbangan kebaikan. Kebaikan yang diberikan kepada orang lain lewat manfaat itu pada akhirnya akan membawa kebaikan bagi diri orang yang memberikan manfaat.

Sayangnya banyak orang yang lupa akan hal ini dan memilih hidup mengejar tujuan-tujuan yang fana. Bola kehidupannya digulirkan ke arah tujuan-tujuan tersebut. Kadang tujuan hidupnya tercapai, kadang meleset. Keberhasilan bernilai sebatas pencapaian tujuan tanpa terlalu melihat prosesnya. Kegagalan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan karena proses yang dilalui untuk menggapai tujuan itu dianggap sia-sia. Kebahagiaan di dunia menjadi lebih sulit dicapai. Jaminan kebahagiaan di akhirat pun bergerak menjauh dari harapan.

Manusia memang punya kecenderungan untuk memikirkan dirinya sendiri. Semakin besar kecenderungan ini, semakin rendah tingkat kepedulian terhadap lingkungan dan orang lain di sekitarnya. Rendahnya tingkat kepedulian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap besarnya manfaat yang akan diberikan oleh seseorang. Orang dengan kecenderungan mementingkan diri sendiri yang tinggi tidak akan rela menghabiskan waktunya demi orang lain.

Padahal kalau kita kembalikan kepada prinsip memberikan manfaat di atas, semakin banyak manfaat yang kita berikan berarti semakin banyak nilai dan amal kebaikan yang kita kumpulkan. Pada dasarnya menjadi orang yang senantiasa memberikan manfaat sama saja dengan orang yang mengumpulkan banyak nilai dan kebaikan untuk dirinya sendiri. Kalau dilihat dari perspektif ini, orang yang memberikan manfaat pun mementingkan dirinya sendiri. Hanya saja cara mementingkan diri sendirinya berbeda dengan orang yang tidak mau peduli dengan sekitarnya.

Menjadi manfaat sebagai tujuan hidup adalah cara mudah untuk menemukan nilai yang paling jitu karena manfaat sekecil apa pun pasti akan membawa reaksi baik pada hidup kita. Reaksi baik yang dimaksud tentunya tidak berhenti pada kehidupan yang fana ini, tapi juga terus berlanjut hingga mencapai kehidupan yang abadi di akhirat kelak.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/I2wGDnxt/HidupDalamKerangkaManfaat.html

09 Februari 2010

Dosa Kecil yang Menjadi Besar

Setahu saya dalam Islam dikenal istilah dosa kecil dan dosa besar. Dosa kecil adalah dosa yang kadar hukumannya rendah sementara dosa besar adalah dosa yang kadar hukumannya tinggi. Definisi ini sebenarnya agak asal-asalan karena saya sendiri lebih memilih untuk tidak membedakan kecil atau besarnya dosa. Besar kecilnya dosa itu sebenarnya tidak terlalu penting karena kadang dosa besar bisa menjadi kecil atau sebaliknya dosa kecil pun menjadi besar.

Dosa besar bisa menjadi kecil tentu karena sifat Allah yang Maha Pengampun. Sebanyak apa pun dosa yang kita lakukan (misalnya sebanyak air di lautan), semua itu tidak akan ada artinya bila Allah bersedia mengampuni kita. Hal ini berlaku umum kecuali untuk syirik (menyekutukan Allah). Syirik dikatakan sebagai dosa yang tidak akan diampuni Allah. Alhamdulillah Ustadz Sigit Prawono mampu memberikan penerangan yang baik lewat kolom "Ustadz Menjawab" di situs eramuslim: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/dosa-syirik-dosa-yang-tidak-diampun.htm.

Dalam kolomnya dikatakan bahwa Allah akan senantiasa mengampuni dosa apapun yang dilakukan setiap manusia yang berniat untuk bertobat sepenuh hatinya. Syirik pun termasuk dosa yang dapat diampuni karena rahmat Allah itu luar biasa besarnya. Kalau kita mau memahami besarnya kasih dan sayang Allah kepada hamba-Nya, sulit dibayangkan kalau Allah menolak untuk mengampuni dosa orang yang bertobat sepenuh hati.

Kalau memang begitu adanya, bagaimana mungkin ada dosa kecil apa yang bisa menjadi besar? Saya akan coba ambil contoh. Misalkan A tertangkap basah mencuri. Dia dipenjara untuk beberapa waktu. Setelah dibebaskan, A mencuri lagi dan tentu saja tertangkap lagi. Dia dipenjara lagi dan pada akhirnya dibebaskan lagi. Siklus itu terus berputar. Setiap kali dibebaskan, A kembali mencuri, tertangkap, dan dipenjara, dibebaskan, dan kembali mencuri lagi.

Kalau saya menjadi polisi yang menangkap A, lama-lama akan tumbuh rasa geregetan yang tidak tertahankan. Pertama kali A mencuri mungkin dilakukan karena terpaksa, kedua kali mungkin karena masih terpaksa, ketiga kali karena merasa bisa lolos, keempat kali karena kebiasaan, kelima kali dan seterusnya karena sudah tidak lagi acuh dengan aturan dan aparat.

Dosa pun bisa berkembang seperti itu. Pertama kali Anda berbohong mungkin karena terpaksa untuk menutupi kesalahan. Kedua kali Anda berbohong lagi-lagi untuk menutupi kesalahan. Ketiga kali Anda berbohong karena sudah biasa. Lama-kelamaan Anda tidak lagi merasa salah karena berbohong. Pada titik ini, Anda sudah melecehkan kekuasaan dari Allah yang Maha Tahu. Kebohongan Anda berkembang dari sebuah keterpaksaan menjadi pembangkangan terhadap Allah. Ini yang saya maksud dengan berkembangnya dosa kecil menjadi dosa besar.

Saya pribadi pun pernah "membangkang" terhadap perintah atau larangan Allah. Jurus-jurus yang dilancarkan syaithan senantiasa mampu memanipulasi hati dan pikiran saya sehingga saya sering menganggap enteng dosa-dosa yang saya lakukan. Hati dan pikiran saya seringkali dimanipulasi sehingga sering membuat berbagai macam alasan untuk membenarkan perbuatan dosa tersebut. Saya yakin saya tidak sendirian dalam hal ini.

Dosa kecil bisa terus berkembang menjadi besar saat kita tidak lagi peduli dengan perbuatan dosa kita. Bersikap cuek dengan perbuatan dosa sama saja dengan mengelabui Allah SWT. Apalagi Allah itu memiliki sifat Maha Tahu. Merasa mampu mengelabui Allah adalah kebohongan terbesar yang sering dimanfaatkan syaithan untuk memperdaya manusia.

Kunci untuk mencegah terjadinya dosa besar adalah dengan tidak meremehkan satu pun perbuatan dosa yang kita lakukan. Sekecil apa pun perbuatan dosa yang kita lakukan, sudah selayaknya kita sepenuh hati memohon ampunan kepada Allah SWT. Dengan begitu kita dapat menjaga diri kita dari meremehkan perintah dan larangan Allah SWT. Pada akhirnya kita pun dapat meremehkan keberadaan Allah yang senantiasa mengetahui semua perbuatan kita.

Referensi:

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/yHElrRQW/DosaKecilyangMenjadiBesar.html