27 Oktober 2008

Toleransi untuk Tradisi

Menyikapi tradisi bertujuan ibadah dalam Islam tidak semudah membedakan hitam dan putih. Wilayah abu-abu itu sering saya alami sendiri. Umumnya wilayah abu-abu ini terkait dengan pilihan antara tetap tegas mengacu pada hukum dalam Islam atau menjaga hubungan baik dengan para penerus tradisi tersebut.

Penolakan tradisi seperti ini sering sulit dilakukan karena umumnya para penerus tradisi mengacu kepada kata-kata "tidak dilarang". Padahal ibadah seharusnya mengacu kepada kata-kata "tidak diperintahkan". "Tidak dilarang" digunakan untuk menilai sesuatu yang tidak terkait dengan ibadah. Penolakan ini akan lebih sulit lagi kalau tradisi tersebut sudah dicampuri oleh keyakinan. Kita semua tahu merubah keyakinan seseorang itu bukan hal yang mudah.

Saya ambil contoh tahlilan. Setiap ada orang yang meninggal, anggota keluarga yang ditinggalkan akan mempersiapkan acara tahlilan. Sebenarnya mereka sudah cukup repot mengurus pemakaman jenazah yang meninggal. Tapi dengan wajibnya acara tahlilan, mereka lebih direpotkan lagi dalam mempersiapkan tempat dan makanan untuk menyambut para peserta tahlilan tersebut.

Saya tidak pernah menemukan dasar aturan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah yang menganjurkan, apalagi mewajibkan tahlilan. Secara logika, saya juga menolak tahlilan karena menurut saya tidak masuk akal bila anggota keluarga yang ditinggalkan harus mengeluarkan biaya, waktu, dan energi untuk menggelar acara tahlilan. Tapi untuk menolak prosesi acara tahlilan bukan hal yang mudah bagi saya karena saya dihadapkan dengan sebuah masyarakat yang percaya bahwa tahlilan itu "wajib" atau minimal "penting".

Saat Ayah saya meninggal dunia, Saya tidak kuasa mencegah prosesi acara tahlilan terkait. Ibu saya mendukung acara tahlilan tersebut. Ustad di lingkungan rumah saya pun mendukung acara tahlilan. Saya sendiri tidak punya orang lain untuk mendukung argumen saya. Pada akhirnya acara tahlilan itu berjalan sampai selesai. Saya sendiri akhirnya ikut membantu persiapan acara tahlilan itu walaupun hati saya senantiasa menolak hingga acara itu berakhir.

Keputusan besar untuk turut membantu acara tahlilan itu didasari pertimbangan bahwa sikap keras saya menolak tahlilan itu akan membuat saya terlihat berbeda dalam arti yang negatif. Ada kemungkinan besar bahwa saya akan terlihat seperti orang yang sok tahu, keras kepala, dan aneh. Hal ini sepertinya akan membawa dampak negatif yang lebih besar karena ada kemungkinan di kemudian hari keluarga saya tidak lagi mau mendengar pendapat saya.

Saya bersyukur Allah masih memberikan tempat untuk toleransi. Akhirnya saya memilih langkah moderat dalam menyikapi prosesi acara tahlilan untuk Ayah saya. Saya tetap membantu, tapi hati saya mengingkari. Kalau kita bicara keyakinan, bentuk penolakan paling rendah adalah penolakan dalam hati. Bentuk penolakan ini yang dengan berat hati saya pilih.

Kondisi abu-abu seperti itu sebenarnya masih banyak lagi. Saya sendiri sering mengalaminya dan saya yakin hidup pembaca sekalian tidak luput dari hal yang sejenis. Pedoman saya dalam menyikapi masalah abu-abu ini sama dengan pedoman saya menyikapi bohong putih. Saya tegaskan dalam hati bahwa yang salah itu tetap salah sementara saya memohon ampun karena terpaksa melakukan hal yang salah.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95607067/9f3d5f78/ToleransiUntukTradisi.html

15 Oktober 2008

Tradisi dalam Islam

Kalau kita bicara keturunan, tentu tidak akan lepas dari tradisi. Entah ada berapa macam tradisi yang sudah diturunkan kepada kita, generasi sekian ribu sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Melalui tulisan ini, saya akan paparkan beberapa kebiasaan yang menurut saya hanya dilandaskan kepada tradisi ketimbang kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah.

Tahlilan
Tahlilan adalah tradisi pertama yang terpikir oleh saya. Sampai saat ini saya tidak bisa menemukan satu dalil pun yang membenarkan prosesi acara tahlilan itu dilakukan. Secara logika, saya sendiri tidak setuju dengan acara tahlilan. Kenapa tidak logis? Tidak logis bila sebuah keluarga yang ditinggal mati salah seorang anggota keluarganya harus repot-repot menyiapkan tempat dan makanan lengkap untuk orang-orang yang datang untuk mendoakan yang mati. Sudah ditimpa musibah malah harus keluar biaya dan tenaga untuk menjamu para pendoa.

Takbiran
Takbiran merupakan tradisi lain yang kental dalam perayaan hari raya Idul Fitri. Prosesi takbiran yang saya maksud adalah takbiran di malam terakhir bulan Ramadhan yang dilakukan beramai-ramai, umumnya dengan memukul bedug, sambil berjalan-jalan (entah menggunakan kendaraan apa) keliling kota, kampung, kecamatan, atau minimal RT-RW setempat. Memang ada perbedaan pendapat mengenai ucapan takbir, waktu takbir, dan dilakukan bersama-sama atau sendiri-sendiri, tapi saya tidak pernah menemukan dalil yang menjadi dasar prosesi takbiran keliling kampung tersebut.

*Gambar diambil dari http://indonesia.nomadlife.org/

Ziarah Kubur pada Waktu Tertentu
Manfaat ziarah kubur yang paling utama adalah untuk mengingat kematian dan mengambil sedikit waktu untuk mendoakan mereka yang telah mati. Jadi kenapa harus dilakukan pada waktu-waktu yang khusus? Dalam masyarakat Indonesia, saya perhatikan ada beberapa waktu khusus untuk ziarah kubur antara lain sebelum bulan Ramadhan atau sebelum hari raya Idul Fitri.

*Gambar diambil dari http://www.clipartheaven.com/

Ziarah Kubur pada Kuburan Tertentu
Ini bentuk tradisi lain yang terkait dengan ziarah kubur. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan ziarah kubur pada kuburan-kuburan tertentu seperti kuburan para wali atau orang-orang alim zaman dahulu kala yang dianggap dapat membantu mencarikan jodoh, pekerjaan, menyembuhkan penyakit, dan berbagai kepentingan lainnya.

Mungkin masih banyak lagi tradisi lain yang cukup kuat kaitannya dengan Islam. Tapi dalam tulisan ini saya hanya mampu mencantumkan beberapa tradisi yang saya kenali sebagaimana saya paparkan di atas. Paparan tersebut terbatas pada tradisi-tradisi yang pernah saya lihat dan saya sendiri pernah lakukan di masa lalu.

Kembali ke topik. Saya bukan orang yang ingin menentang tradisi dan menjadi orang aneh di tengah-tengah masyarakat yang mengagungkan tradisi. Walaupun begitu, saya menganggap tradisi adalah tembok penghalang inovasi dan kemauan untuk berpikir lebih jauh. Tradisi sering sering dilakukan dengan didasari oleh kebiasaan orang-orang terdahulu tanpa pernah dicari tahu asal-usulnya.

Dalam konteks ibadah, tradisi dapat berujung kepada bid'ah. Setahu saya, setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT atau menjadi bagian dari sunnah Rasulullah SAW merupakan bid'ah. Jadi tradisi dalam bentuk ibadah yang tidak didasari Al Quran dan Sunnah Rasulullah termasuk kategori bid'ah.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa cara pandang ini terlalu picik. Memang kenapa kalau kita membiasakan sesuatu yang baik? Apalagi semua tradisi itu memang tidak dilarang. Dalam paragraf di atas, saya sengaja mencetak tebal tulisan "tradisi dalam bentuk ibadah" untuk menegaskan bahwa bid'ah itu hanya berlaku untuk ibadah.

Ibadah harus dilakukan atas perintah Allah atau Rasul-Nya. Hal ini dapat diartikan bahwa beribadah itu hukumnya haram kecuali diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bila dibandingkan dengan aturan hubungan antara sesama manusia, maka akan terlihat jelas perbedaannya. Dalam hubungan antara sesama manusia, kita bisa melakukan apa saja kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi dalam konteks ini, perkataan atau perbuatan apapun halal kecuali dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kembali lagi kepada tradisi dalam bentuk ibadah. Memperbolehkan tradisi semacam ini dengan dasar tidak ada larangannya tentu tidak tepat. Membiasakan sesuatu yang baik adalah sesuatu yang baik juga. Tapi dalam konteks ibadah, tidak boleh ada kebiasaan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tradisi baik yang dibuat tidak dalam konteks ibadah, selama tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, sebaiknya dipertahankan. Tapi sebagai Muslim yang senantiasa diperintahkan untuk belajar, sebaiknya kita senantiasa mempertimbangkan kembali alasan di balik sebuah tradisi sebaik apa pun tradisi tersebut. Tradisi sering membuat serat inovasi dan membatasi kemauan dan kemampuan berpikir dari para pengikut tradisi tersebut.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95607738/77baa029/TradisiDalamIslam.html

08 Oktober 2008

Islam Keturunan

Apa jawaban Anda bila seseorang mempertanyakan alasan Anda memeluk Islam? Apakah karena orang tua Anda adalah pemeluk Islam? Apakah karena keluarga Anda tidak membiarkan Anda memilih yang lain selain Islam? Apakah karena pekerjaan Anda mengharuskan Anda memeluk Islam? Apakah karena Anda sadar Islam adalah yang benar? Apakah karena Anda sadar bahwa Allah itu nyata?

Saya yakin ada lebih banyak kemungkinan alasan seseorang memeluk Islam. Saya pribadi membedakan alasan-alasan tersebut ke dalam dua kelompok besar. Yang pertama adalah kelompok tidak sadar Islam. Yang kedua adalah kebalikannya yaitu kelompok sadar Islam.

Kelompok pertama, yaitu kelompok tidak sadar Islam, adalah orang-orang yang memeluk Islam karena situasi dan kondisi di sekitarnya. Kelompok ini memeluk Islam bukan karena dirinya memilih Islam. Situasi dan kondisi di sekitarnya yang membuat mereka memilih Islam. Contohnya adalah Islam yang diturunkan dari orang tuanya, Islam yang dipeluk karena setiap anggota masyarakat di sekitarnya memeluk Islam, Islam yang dipeluk karena calon pasangannya memeluk Islam, dan masih banyak contoh lainnya.

Kelompok kedua, yaitu kelompok sadar Islam, adalah orang-orang yang memeluk Islam karena hati dan pikirannya memilih Islam. Kelompok ini memeluk Islam karena dirinya sadar bahwa Islam itu benar; atau paling benar. Kelompok ini memeluk Islam tanpa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

Saat saya membuat tulisan ini, saya rasa lebih banyak Muslim yang masuk ke dalam kelompok pertama. Hal ini saya kemukakan karena saya semakin yakin umat Muslim saat ini sudah tidak punya kuasa. Saya merasa umat Muslim sedang ada di atas kapal di tengah laut yang berombak besar akibat diterjang badai. Tapi kondisi umat Muslim ini bukan hal yang ingin saya tuangkan dalam tulisan ini.

Kelompok tidak sadar Islam ini memeluk agama Islam tapi tidak sepenuhnya sadar akan tanggung jawab mereka sebagai Muslim untuk terus-menerus belajar Islam. Islam yang mereka tahu adalah Islam yang diturunkan orang tua mereka, Islam yang diajarkan di pelajaran agama Islam di sekolah, Islam yang mereka kenal dari media massa, dan berbagai sumber yang dicekoki ke dalam pikiran mereka.

Kelompok sadar Islam menyadari tanggung jawab mereka untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang Islam. Pada dasarnya Islam yang mereka tahu mungkin beririsan dengan Islam yang diketahui oleh kelompok pertama karena sumber pengetahuan mereka bisa jadi sama. Yang menjadi pembeda adalah kelompok sadar Islam tidak sekedar menerima Islam yang disodori ke dalam pikiran mereka. Mereka berpikir kritis dan senantiasa menyadari jalan mereka menuju pemahaman Islam yang menyeluruh masih panjang.

Pada hakikatnya keutamaan dan kemuliaan menjadi seorang Muslim hanya bisa didapat bila orang tersebut memiliki pemahaman terhadap Islam yang menyeluruh. Pemahaman yang menyeluruh tersebut tidak akan pernah bisa didapat bila seorang Muslim tidak menyadari tanggung jawabnya untuk senantiasa mempelajari Islam.

Mempelajari Islam merupakan tanggung jawab setiap Muslim. Islam tidak akan menjadi pedoman hidup yang baik bila Islam tidak dipelajari lebih dalam dan menyeluruh. Kalau Islam dipandang sebatas Rukun Iman dan Rukun Islam saja, maka setiap orang, baik Muslim maupun bukan Muslim, akan kesulitan menemukan keutamaan dan kemuliaan Islam.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa kelompok tidak sadar Islam adalah salah. Biar Allah yang menjadi hakim untuk masalah ini. Saya pribadi tetap bersyukur bila seseorang memeluk agama Islam tanpa ada embel-embel sadar atau tidak sadar Islam. Saya rasa cukup bila seorang Muslim meyakini Rukun Iman dan melaksanakan Rukun Islam, tapi Islam tidak akan pernah menjadi rahmat bagi diri seorang Muslim bila hanya dipahami sebatas itu saja. Sudah waktunya bagi kita semua untuk berhenti terbawa arus dan mulai berenang untuk menentukan arah hidup kita sebagai Muslim.

Tulisan terkait:
Apa itu Islam?
Lebih dari Sekedar Shalat, Puasa, dan Zakat

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95608490/d9ab6e9e/IslamKeturunan.html

01 Oktober 2008

Taubat di Hari yang Fitri

Idul Fitri adalah hari yang membahagiakan bagi setiap Muslim yang berpuasa. Bahkan Muslim yang tidak berpuasa pun turut berbahagia merayakan hari yang fitri tersebut. Kenapa mereka berbahagia? Idul Fitri sering disamakan dengan libur yang (cukup) panjang, makanan yang enak, baju yang baru, dan uang tambahan. Menyenangkan, bukan?

Saya tidak bermaksud mempermasalahkan semua yang saya sebutkan di atas. Saat saya masih bekerja sebagai seorang karyawan perusahaan swasta, saya memang merasakan manfaat Idul Fitri di sisi waktu libur dan uang tunjangan. Namun patut disayangkan bila Idul Fitri hanya dilihat dari hal-hal yang fana.

Idul Fitri datang setelah 30 hari penuh tantangan untuk berpuasa menahan lapar, haus, emosi, dan syahwat. Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai Hari Kemenangan karena mereka yang merayakan Idul Fitri identik dengan merayakan kemenangan dalam perang abadi melawan nafsu dan syaithan.

Fitri berarti suci yang sering diterjemahkan sebagai hari saat mereka yang berpuasa kembali kepada kesucian. Kesucian yang dipadankan dengan kesucian bayi yang baru lahir. Kesucian yang hakiki sebagai kesempatan untuk memulai kembali perjuangan mengejar pahala dan menjauhi dosa.

Beranjak dari kata "kesempatan" tersebut akhirnya saya merasa bahwa Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk bertaubat. Sebab taubat, selain memiliki makna memohon ampunan dari Allah SWT, juga bermakna mengharapkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegahnya agar tidak terulang kembali.

Bulan Ramadhan ibarat panti rehabilitasi yang dapat saya manfaatkan untuk mengenali kesalahan-kesalahan saya dengan harapan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Di panti tersebut saya belajar untuk menahan diri dari yang haram dan yang halal. Di panti tersebut saya belajar untuk menahan dan menyalurkan emosi yang kecil maupun yang besar.

Melewati hari-hari di bulan Ramadhan bukan hal yang mudah. Tapi semua kesulitan itu memang layak untuk dihadapi karena 30 hari penuh pengendalian diri tersebut akan menjadi modal hidup sampai bulan Ramadhan berikutnya. Tanpa adanya bulan Ramadhan, saya justru kesulitan menemukan waktu yang khusus untuk introspeksi diri dan mengembangkan kemampuan saya untuk menahan nafsu dan syahwat.

Idul Fitri merupakan hari yang akbar. Idul Fitri merupakan peristiwa yang berharga. Idul Fitri datang satu tahun sekali. Semoga Idul Fitri dapat saya rayakan sesuai dengan maknanya yang hakiki. Semoga saya dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri berikutnya.

Tulisan ini saya tutup dengan doa.

Semoga saya dan setiap Muslim diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Semoga saya dan setiap Muslim diterima taubatnya. Semoga saya dan setiap Muslim diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah lalu. Semoga saya dan setiap Muslim diberikan kekuatan dan kekuasaan untuk menahan nafsu dan syahwat sehingga dapat menjaga diri dari perbuatan dosa.

--
Amir Syafrudin

Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)