Islam adalah agama yang komprehensif. Ajarannya meliputi berbagai seluk kehidupan manusia. Mulai dari yang sederhana seperti cara makan sampai yang rumit seperti cara mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, semuanya diajarkan dalam Islam; baik melalui Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.
Islam adalah agama dengan batasan yang fleksibel. Setiap Muslim diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu, tapi keringanan diberikan bagi Muslim yang sakit, berhalangan, atau ada dalam perjalanan. Kewajiban untuk shalat tetap berjalan sampai seorang Muslim mati, tapi aturan pelaksanaannya masih manusiawi.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan bertanggung jawab. Setiap Muslim diperbolehkan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain asalkan tetap menjaga aurat dan pandangan. Setiap Muslim diperbolehkan mengikuti bakat dan minatnya asalkan tidak berbenturan dengan ajaran-ajaran Islam.
Islam seharusnya menjadi agama (atau lebih tepatnya pegangan hidup) yang dapat dibanggakan. Setiap Muslim seharusnya bangga menjadi orang-orang yang menjaga aurat, pandangan, syahwat, dan emosi mereka. Setiap Muslim seharusnya bangga menjadi orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab.
Akan tetapi kenyataan di dunia ini sepertinya bertolak belakang. Islam bukan lagi agama yang membanggakan. Bahkan di mata orang-orang bukan beragama Islam, Islam justru terlihat sangat menakutkan. Islam di mata masyarakat pada umumnya lebih dekat kepada fundamentalis, ekstremis, dan teroris.
Ada sebegitu banyak nilai kebajikan (dan kebijakan) yang diajarkan dalam Islam, namun yang terlihat justru Islam yang buruk dan keras. Seolah-olah sudah terbentuk sebuah persepsi umum bahwa semakin dekat seseorang ke dalam Islam, semakin buruk dan keras sifat orang tersebut.
Setiap Muslim yang menolak berjabatan tangan dengan lawan jenis bukan muhrim terlihat aneh. Setiap wanita Muslim yang memakai jilbab panjang terlihat janggal. Setiap pria Muslim dewasa yang tidak merasa nyaman menonton film mesum justru mengundang tawa. Setiap pria Muslim dewasa yang memanjangkan jenggotnya bahkan diolok-olok.
Ada begitu banyak karakter dalam Islam yang akhirnya tidak dapat diterima oleh masyarakat; baik secara eksplisit maupun implisit. Semakin lama semakin sedikit orang yang berani menunjukan identitasnya sebagai seorang Muslim. Kadang karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan, kadang karena khawatir dikucilkan teman dan keluarga, atau berbagai alasan lainnya. Semakin banyak orang yang tidak bangga dengan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Pada akhirnya semakin banyak orang-orang yang mengaku beragama Islam tanpa karakter seorang Muslim. Pergaulan bebas (bahkan seks bebas), mempertontonkan aurat, bergunjing, berjudi, mempercayai ramalan, dan berbagai hal lain dilakukan oleh mereka. Hal ini menjadi lebih ironis karena pada saat yang sama orang-orang ini tetap melaksanakan shalat lima waktu (atau mungkin sudah dikurangi menjadi dua atau tiga waktu saja?).
Hilangnya rasa kebanggaan sebagai seorang Muslim tentunya didorong oleh banyak faktor. Masyarakat pada umumnya melihat ke arah barat sebagai suri teladan mereka. Negara-negara barat jelas-jelas dipandang lebih tinggi oleh masyarakat pada umumnya. Cara menghias diri, cara berpakaian, cara bekerja, cara bersenang-senang, dan berbagai pola hidup masyarakat barat diteladani; termasuk produk keluaran negara-negara barat itu.
Cara meneladani negara barat itu mudah. Setiap orang dapat melihat gaya hidup orang-orang di negara barat itu melalui televisi. Stasiun televisi lokal saat ini tidak hanya menyiarkan acara-acara dari negara-negara lain, tapi juga mengadopsi atau bahkan membuat versi sendiri dari acara-acara itu. Sampai-sampai banyak pihak menganggap stasiun televisi negara ini tidak lagi memiliki kreatifitas yang memadai.
Televisi memang memiliki andil yang besar dalam mencitrakan kriteria seorang Muslim yang baik di negara Indonesia ini. Pemberitaan mengenai kekerasan umat Islam ditambah minimnya ekspos terhadap kebaikan dalam Islam membuat orang berpikir berpuluh-puluh kali sebelum mendekat lebih jauh ke arah Islam. Yang lebih ironis lagi adalah kebanyakan orang memilih menjadikan sinetron religi (tapi tidak religius) sebagai tolok ukur karakter seorang Muslim.
Akhirnya semakin banyak orang Muslim yang tidak berbeda dengan orang yang bukan Muslim. Shalat wajib dilakukan kalau sempat (dan kalau ingat), bergaul tanpa melihat batas muhrim atau non-muhrim, makan-minum sambil berdiri (dan menggunakan tangan kiri), seks bebas menjadi masalah privasi (dan bukan masalah dosa), taruhan menjadi masalah sepele, takdir Allah SWT disandingkan dengan ramalan (oleh manusia, binatang, bahkan benda mati), dan daftar ini pun terus berlanjut.
Oleh karena itu, saya rasa pantas bila timbul pertanyaan apakah menjadi Muslim itu sebuah kebanggaan atau sebaliknya justru memalukan. Memang tidak semua orang sungkan atau bahkan malu menjadi seorang Muslim yang komprehensif, tapi berapa banyak orang-orang yang bangga ini bila dibandingkan dengan orang-orang yang merasa sebaliknya? Semoga kita bisa tetap bangga menjadi Muslim.
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/rI7ousaG/MenjadiMuslimBanggaAtauSungkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.