Bila hari 'ied jatuh pada hari Jum'at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat 'ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum'at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum'at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum'at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat 'ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari 'Umar, 'Utsman, 'Ali, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, "Aku pernah menemani Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom, "Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dengan dua 'ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum'at) dalam satu hari?" "Iya", jawab Zaid. Kemudian Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang beliau lakukan ketika itu?" "Beliau melaksanakan shalat 'ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum'at", jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mau shalat Jum'at, maka silakan melaksanakannya."[439]
Kedua: Dari 'Atho', ia berkata, "Ibnu Az Zubair ketika hari 'ied yang jatuh pada hari Jum'at pernah shalat 'ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum'at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu 'Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu 'Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu 'Abbas. Ibnu 'Abbas pun mengatakan, "Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah]."[440] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu' yaitu menjadi perkataan Nabi.[441]
Diceritakan pula bahwa 'Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu 'Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula 'Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat 'ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum'at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[442]
Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum'at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum'at atau yang tidak shalat 'ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu'man bin Basyir, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat 'ied dan shalat Jum'at "sabbihisma robbikal a'la" dan "hal ataka haditsul ghosiyah"." An Nu'man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari 'ied bertepatan dengan hari Jum'at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[443] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum'at yang bertepatan dengan hari 'ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid. Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum'at dan telah menghadiri shalat 'ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka'at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum'at.[444]
Catatan kaki:
[439] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu' (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). 'Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. 'Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi'ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[440] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[441] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[442] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[443] HR. Muslim no. 878.
[444] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyah wal Ifta', 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi' Al Ifta.
Sumber: Muhammad Abduh Tuasikal. 2010. Panduan Ramadhan; Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah. Pustaka Muslim bekerjasama dengan Buletin Dakwah At Tauhid Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta.
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
06 September 2010
02 September 2010
Zakat adalah Energi
Zakat adalah Energi. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi cukup membuka mata. Saya menemukan kalimat ini dalam selebaran program Al-Azhar Peduli Ummat dari Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Isi selebarannya cukup menarik karena berisi kegiatan nyata program tersebut, tapi tulisan ini tidak bermaksud membahas isi selebaran ini.
Kembali ke kalimat "Zakat adalah Energi". Saya sendiri memperlakukan zakat sebagai kewajiban. Zakat adalah sesuatu yang harus saya tunaikan terkait dengan keyakinan saya sebagai seorang Muslim. Salah satu manfaat nyata yang dapat saya rasakan dari zakat adalah kesucian harta yang saya miliki dan manfaatkan. Kadang manfaat yang saya rasakan hanya sebatas itu.
Memang ada kalanya saya sadar bahwa zakat yang saya tunaikan akan sampai ke tangan-tangan para mustahik (orang yang berhak menerima) zakat. Di tangan mereka zakat-zakat saya akan memberikan manfaat. Sayangnya saya tidak secara tegas melihat zakat sebagai energi, yaitu sesuatu yang memungkinkan para mustahik zakat untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupannya.
Kalau saja saya melihat zakat sebagai energi, maka saya pasti mampu melihat banyaknya manfaat dari menunaikan zakat. Seandainya zakat dialokasikan untuk membiayai studi orang-orang miskin, tentu manfaatnya akan berlipat ganda. Orang-orang ini akan bertambah ilmu, kemudian mampu mencari penghidupan yang lebih baik. Pada akhirnya orang-orang ini bisa keluar dari jurang kemiskinan. Contoh lain bila zakat dialokasikan untuk membantu usaha orang-orang miskin. Hal ini juga memiliki potensi nyata mengangkat derajat kehidupan orang-orang miskin.
Dengan luasnya manfaat zakat ini, setiap Muslim tentu menyadari potensi amal baik yang dapat mereka terima dengan menunaikan zakat. Amal baik seseorang lewat menunaikan zakat mungkin akan terus berlipat ganda tanpa henti seiring dengan banyaknya manfaat yang didapat dari zakatnya.
Misalkan zakat kita ternyata dimanfaatkan oleh seorang mustahik untuk membuka usaha. Usaha itu ternyata berkembang seiring dengan semangat kerja mustahik itu. Tidak berapa lama mustahik itu mampu keluar dari kemiskinan dan berbalik menjadi muzakki (orang yang wajib membayar zakat). Usahanya pun terus berkembang sehingga mampu membuka lapangan kerja baru. Tentu kita dapat bayangkan betapa banyaknya manfaat yang kita berikan lewat zakat kita, betapa banyaknya amal baik yang kita peroleh, betapa banyaknya tabungan akhirat yang kita miliki.
Jadi pada dasarnya potensi amal baik dalam zakat itu tidak terbatas pada kesucian harta atau pada kewajiban semata. Zakat yang kita tunaikan dapat membantu membawa perubahan terhadap kesejahteraan para mustahik zakat. Dengan menunaikan zakat, kita turut andil membantu orang-orang miskin menemukan kehidupan yang lebih baik.
Tulisan terkait:
Memahami Zakat Profesi
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Kembali ke kalimat "Zakat adalah Energi". Saya sendiri memperlakukan zakat sebagai kewajiban. Zakat adalah sesuatu yang harus saya tunaikan terkait dengan keyakinan saya sebagai seorang Muslim. Salah satu manfaat nyata yang dapat saya rasakan dari zakat adalah kesucian harta yang saya miliki dan manfaatkan. Kadang manfaat yang saya rasakan hanya sebatas itu.
Memang ada kalanya saya sadar bahwa zakat yang saya tunaikan akan sampai ke tangan-tangan para mustahik (orang yang berhak menerima) zakat. Di tangan mereka zakat-zakat saya akan memberikan manfaat. Sayangnya saya tidak secara tegas melihat zakat sebagai energi, yaitu sesuatu yang memungkinkan para mustahik zakat untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupannya.
Kalau saja saya melihat zakat sebagai energi, maka saya pasti mampu melihat banyaknya manfaat dari menunaikan zakat. Seandainya zakat dialokasikan untuk membiayai studi orang-orang miskin, tentu manfaatnya akan berlipat ganda. Orang-orang ini akan bertambah ilmu, kemudian mampu mencari penghidupan yang lebih baik. Pada akhirnya orang-orang ini bisa keluar dari jurang kemiskinan. Contoh lain bila zakat dialokasikan untuk membantu usaha orang-orang miskin. Hal ini juga memiliki potensi nyata mengangkat derajat kehidupan orang-orang miskin.
Dengan luasnya manfaat zakat ini, setiap Muslim tentu menyadari potensi amal baik yang dapat mereka terima dengan menunaikan zakat. Amal baik seseorang lewat menunaikan zakat mungkin akan terus berlipat ganda tanpa henti seiring dengan banyaknya manfaat yang didapat dari zakatnya.
Misalkan zakat kita ternyata dimanfaatkan oleh seorang mustahik untuk membuka usaha. Usaha itu ternyata berkembang seiring dengan semangat kerja mustahik itu. Tidak berapa lama mustahik itu mampu keluar dari kemiskinan dan berbalik menjadi muzakki (orang yang wajib membayar zakat). Usahanya pun terus berkembang sehingga mampu membuka lapangan kerja baru. Tentu kita dapat bayangkan betapa banyaknya manfaat yang kita berikan lewat zakat kita, betapa banyaknya amal baik yang kita peroleh, betapa banyaknya tabungan akhirat yang kita miliki.
Jadi pada dasarnya potensi amal baik dalam zakat itu tidak terbatas pada kesucian harta atau pada kewajiban semata. Zakat yang kita tunaikan dapat membantu membawa perubahan terhadap kesejahteraan para mustahik zakat. Dengan menunaikan zakat, kita turut andil membantu orang-orang miskin menemukan kehidupan yang lebih baik.
Tulisan terkait:
Memahami Zakat Profesi
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: T/A (Tidak Ada)
Langganan:
Postingan (Atom)