Kehati-hatian saya dalam melangkah sempat membawa saya pada titik ekstrim. Saya selalu menyisihkan 2.5% dari setiap rupiah yang saya terima untuk dizakatkan. Uang zakat ini saya kumpulkan di tempat terpisah untuk disalurkan bila waktu penyalurannya sudah tiba. Umumnya saya menunggu satu tahun atau pada kondisi-kondisi khusus seperti bantuan untuk korban bencana alam atau korban perang.
Saat ini saya coba meluruskan kembali pemahaman saya mengenai Zakat Profesi. Hasil berselancar di Internet membawa saya pada kesimpulan bahwa perbedaan pendapat mengenai Zakat Profesi masih ada. Akhirnya saya harus memilih pendapat yang memang sesuai dengan keyakinan saya.
Keyakinan saya setelah membaca berbagai referensi di Internet adalah sebagai berikut:
- Kadar (tarif): 2,5% dari penghasilan bersih.
Yang dimaksud dengan penghasilan bersih adalah penghasilan kotor (gross) dikurangi pengeluaran-pengeluaran pokok.
- Nisab (penghasilan bersih tidak kena zakat): kurang dari harga 85 gram emas.
- Haul (jatuh tempo): satu tahun Hijriyah sejak pertama kali mendapatkan penghasilan.
Elemen-elemen pengeluaran pokok itu tidak terbatas pada contoh-contoh di atas. Penentuan besaran pengeluaran untuk masing-masing elemen pun diserahkan pada orang yang bersangkutan. Yang perlu diperhatikan adalah setiap orang harus hati-hati menentukan elemen dan besaran pengeluaran pokok tersebut. Jangan sampai kebutuhan yang seharusnya tidak pokok pun dijadikan kebutuhan pokok. Bagi mereka yang ingin berhati-hati, saya sarankan zakat Anda dihitung dari penghasilan kotor saja ketimbang dari penghasilan bersih.
Saya sendiri memiliki kecenderungan untuk menggunakan penghasilan kotor sebagai dasar penghitungan zakat. Kalaupun ada pengeluaran pokok, biasanya saya hanya mencantumkan hutang atau cicilan. Seandainya tidak ada hutang atau cicilan, jumlah zakat yang saya sisihkan adalah 2.5% dari penghasilan kotor.
Misalkan saya menerima gaji sebesar Rp. 4.000.000 per bulan (bebas pajak). Dalam waktu 12 bulan Masehi saya akan menerima gaji sebesar Rp. 48.000.000. Alhamdulillah pada contoh ini saya tidak memiliki hutang atau cicilan. Kalau harga 85 gram emas adalah Rp. 30.000.000, maka saya wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% x Rp. 48.000.000. Waktu pembayaran adalah setiap satu tahun Hijriyah. Untuk memudahkan diri saya sendiri, saya memilih bulan Ramadhan sebagai waktu mengeluarkan zakat setiap tahun Hijriyah.
Referensi:
- Dr. Yusuf Qardhawi. Hukum-hukum Zakat. http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Zakat/index.html; diakses tanggal 14 November 2009.
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/document/Sx4Woc0F/MemahamiZakatProfesi.html
Kalo disalurkan tiap bulan giman Mir? Soalnya semua konsultan zakat yg gw tanya menyarankannya selalu ke gitu.
BalasHapusSepertinya semua konsultan zakat yang lo tanya itu mengibaratkan zakat profesi dengan zakat pertanian. Jadi zakat dikeluarkan setiap kali kita menerima gaji karena penerimaan gaji diibaratkan menuai hasil panen.
BalasHapusGw lebih cenderung ke pendapat yang mengatakan zakat profesi ini lebih dekat ke zakat harta. Jadi nisab dan haul yang gw pegang sebagaimana tersebut di atas. Walaupun begitu setahu gw masalah pengeluaran zakatnya tetap tidak perlu menunggu setahun.
Setahun itu lebih cenderung gw gunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah jumlah penghasilan tahunan kita sudah mencapai nisab atau belum. Untuk pengeluarannya gw masih mengacu pada pemahaman gw sebelumnya. Seandainya ada kondisi khusus seperti bencana alam dan perang, gw akan menyalurkan zakat yang udah gw kumpulkan.
sebenarnya kan ini fiqh kontemporer yah.
BalasHapusdl kan gak ada yah zakat profesi, pdhal zaman dl juga kita udah kenal dengan profesi hakim, gubernur, dokter...
hehehe...
~iseng
Setahu saya memang begitu. Zakat profesi itu pada dasarnya zakat harta. Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan zakat profesi ini merujuk kepada zakat hasil pertanian. Oleh karena itu timbul perbedaan mengenai batas minimal dan waktu mengeluarkan zakat profesi.
BalasHapusklo zakat harta bukan 2.5% deh... *buka kitab2x lg*
BalasHapusgak bermaksud anti zakat, hanya saja.. hal ini kan masih kontemporer, trus yg namanya zakat dlm islam kan wajib, trus gmn dengan sodara2x yg tidak mau bayar zakat profesi ini ? apakah harus kita perangi juga? hehehe... kyk zaman khalifah pertama gt?
jd klo saya, silakan melakukan ini, tp gak perlu jor2xan jg supaya tidak menyinggung kelompok yg tidak setuju dengan adanya zakat profesi :)
~SalamDamai
Saya pribadi tidak pernah berselisih pendapat dengan orang yang tidak setuju dengan adanya zakat profesi -baik di dunia maya maupun dunia nyata.
BalasHapusSemua yang saya tulis di atas adalah persepsi saya pribadi dalam memahami zakat profesi dan tidak bermaksud memaksa orang untuk mengikuti pemahaman saya.
bukan begitu..
BalasHapuscuma pengen menyampaikan aja, bahwa buat kita yg faham dalilnya mungkin bs bijak menyikapi perbedaan ini. Tapi, sekarang kan subhanallah kesadaran membayar zakat ini tinggi sekali, kiranya info ttg dalil knp ada yg setuju knp ada yg enggak jg di sebarkan, supaya gak menyakiti kelompok yg gak setuju td.. begitu om....
Saya paham maksud Bu Shinta. Sayangnya waktu dan referensi saya terbatas. Untuk memahami perbedaan pendapat mengenai zakat profesi ini tidak terpikir oleh saya dalam waktu dekat. Kiranya Bu Shinta memiliki informasi tambahan untuk memperkaya tulisan ini, saya dengan senang hati menerima.
BalasHapusTerima kasih atas masukannya.