Sebelumnya saya pernah menulis opini saya tentang kejujuran: Jujur Pangkal Baik. Kejujuran memang pangkal kebaikan. Setiap Muslim yang beriman kepada Allah sudah pasti menjadikan kejujuran sebagai bagian dari kepribadian mereka.
"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." (HR. Muslim)
Dalam hadits di atas ditegaskan bahwa dusta (bohong) adalah salah satu dari tiga tanda orang munafik. Sementara orang beriman bukan orang munafik sehingga dusta (bohong) bukan bagian dari kepribadian orang beriman.
Lalu apakah setiap Muslim itu tidak boleh berbohong sama sekali? Tidak sesederhana itu.
"Rasulullah Saw membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa dan pembicaraan suami kepada istrinya." (HR. Ahmad)
Hadits berikutnya cukup gamblang. Rasulullah Saw memperbolehkan berbohong dalam perang. Bagi saya hal ini mudah dimengerti. Larangan berbohong dalam peperangan akan berujung pada kehancuran pihak yang bersikeras bersikap jujur. Jujur dalam peperangan sangat tidak masuk akal.
Berbohong untuk mendamaikan orang-orang yang bersengketa. Sejauh pengertian saya, yang dimaksud dengan mendamaikan ini adalah meredam api kemarahan yang sedang berkobar. Berdasarkan pengalaman saya, masalah lebih mudah diselesaikan bila api kemarahan sudah padam. Orang-orang yang bersengketa memiliki hati dan pikiran yang tenang sehingga dapat melihat masalah dari sudut pandang yang lebih baik.
Selanjutnya bila dikhawatirkan ucapan suami yang benar dapat berakibat buruk, maka suami boleh berdusta kepada istri untuk memelihara kerukunan. Saya pribadi tidak mengambil pilihan ini karena istri saya tidak suka bila saya berdusta. Jadi pahit manisnya perkataan saya lebih baik disampaikan secara terang-terangan kepada istri saya. Hal ini bersifat subjektif terhadap diri saya sendiri.
Kembali ke topik kita; Bohong Putih. Merujuk kepada hadits kedua yang saya kutip di atas, saya sepakat bila Bohong Putih itu dilakukan atas dasar keterpaksaan. Bohong Putih dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dari kebohongan itu sendiri.
Sayangnya kata "keterpaksaan" itu sering disalahgunakan. Tapi sebelum saya bicara lebih lanjut mengenai penyalahgunaan tersebut, saya paparkan sedikit persepsi saya mengenai Bohong Putih.
Bohong Putih, menurut saya, bukan kebohongan yang dibenarkan melainkan kebohongan yang dimaafkan. Jadi dalam kondisi apa pun bohong adalah sebuah perbuatan yang salah. Bohong tidak pernah menjadi perbuatan yang benar, tapi dalam kondisi-kondisi tertentu Allah memaafkan dan mengampuni dosa mereka yang berbohong. Kondisi-kondisi tertentu itu antara lain seperti yang Rasulullah perbolehkan dalam hadits kedua yang saya kutip di atas.
Kita perlu tegaskan bahwa bohong adalah perbuatan salah dan akan dimaafkan bila memang bohong itu membawa kebaikan lebih ketimbang tidak bohong. Dengan begitu kita tidak terbuai dengan anggapan bahwa ada bohong yang benar (dibenarkan) sehingga membuat kita lebih berani berbohong.
Terus terang sampai saat ini saya tidak pernah menemukan istilah Bohong Putih dalam terminologi Islam. Bohong ditegaskan sebagai perbuatan yang salah, ciri orang munafik, dan tidak pernah dianjurkan dalam Islam. Islam justru mendorong, bahkan mewajibkan, setiap Muslim untuk senantiasa bersikap jujur.
Kita perlu hati-hati bila menggunakan bohong sebagai solusi alternatif. Jangan sampai kita paksakan alasan "keterpaksaan" padahal kita tidak pernah terpaksa untuk berbohong. Keterpaksaan itu sendiri bersifat subjektif. Jadi bukan tidak mungkin kita membuat-buat alasan seolah-olah kita memang terpaksa padahal hati kita sendiri sadar kita tidak terpaksa berbohong.
--
Amir Syafrudin
Versi PDF tulisan ini: http://www.4shared.com/file/95609604/b43ca2c5/BohongPutih.html